Zaman edan ini sepertinya tak berlaku lagi pepatah lama: pelanggan adalah raja, melainkan telah populer “pepatah” baru: pelayan adalah raja.
Sebagian pelayan di warung-warung, toko-toko, atau kios-kios tak lagi ramah pada pelanggan, kecuali pelayan pria terhadap pelanggan wanita cantik atau sebaliknya: pelayan wanita terhadap pelanggan pria rupawan.
Je orangnya suka singgah di warung-warung. Oleh kawan-kawannya ia dikenal detektif warung kopi, dari warung ke warung. Kawannya tak heran ketika ia mengatakan, pelayan di warung-warung, toko-toko, dan kios-kios di Aceh tak lagi menganggap pelanggannya ibarat raja. “Malah mereka memposisikan diri bagai raja di depan pelanggan,” katanya.
Umumnya, para pelayan hanya akan datang melayani ke meja ketika dipanggil pelanggan. Harusnya ketika pelanggan datang, mereka menghampiri dan menawarkan. Mestinya pelayan malu jika pelanggan (misalnya) harus mengambil sendiri kue di rak penganan sebagai teman minum.
Belakangan ini Je melihat, pelayan setengah hati dalam melayani. Mereka kerap membawa-bawa masalah pribadi dalam bekerja. Mereka melayani dengan maksimal hanya ketika ada toke atau pemilik usaha di dekatnya. Jika tidak ada, para pelayan seperti meutulak-tulak cron dalam melayani pelanggan.
Padahal pelayanan yang demikian sangat merugikan usaha. Pelanggan yang kecewa dengan pelayanan akan menyebarkan kejelekan pelayanan itu ke orang lain, dari mulut ke mulut, sehingga dari berencana mencoba akhirnya tak jadi.
Pelanggan demikian termasuk dalam kategori Vulnerable Customer atau Value of Customer High–Value to Customer Low. Di sini, pelanggan memiliki nilai atau kontribusi yang tinggi bagi perusahaan, namun pelanggan tersebut hanya menerima nilai produk atau layanan yang rendah dari perusahaan.
Pelanggan dengan kategori seperti ini sangat potensial untuk menjadi pelanggan kecewa dan beralih pada produk lain. Apabila terjadi hal seperti itu, maka berpotensi kerugian bagi perusahaan, mengingat kontribusi pelanggan seperti ini cenderung tinggi.
Kategori di atas merupakan salah satu konsep untuk memilah dan memetakan pelanggan, seperti termuat dalam konsep “Value of Customer vs Value to Customer” dari Gupta & Lehman (2005). Value of Customer adalah indikator seberapa tinggi nilai yang diberikan oleh pelanggan kepada perusahaan, sementara Value to Customer berbicara mengenai seberapa tinggi nilai dari produk dan atau layanan yang diberikan oleh perusahaan kepada pelanggan.
Selain kategori Vulnerable Customer, ada tiga kategori lain. Ada namanya Lost Causes atau Value of Customer Low–Value to Customer Low, yaitu pelanggan yang memberikan kontribusi yang rendah pada perusahaan dan pelanggan tersebut juga hanya menerima produk atau layanan ‘seadanya’.
Kemudian ada kategori Free Rider atau Value of Customer Low–Value to Customer High, yaitu pelanggan yang hanya memberi kontribusi rendah tetapi karena satu dan lain hal menikmati layanan ‘berlebih’. Memelihara pelanggan seperti ini cenderung hanya akan mengikis kas perusahaan dan menghalangi perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan yang lain.
Terakhir, ada STAR, yaitu pelanggan yang benar-benar merupakan raja bagi perusahaan atau dikenal Value of Customer High–Value to Customer High. Pelanggan seperti ini memberikan kontribusi yang tinggi sekaligus juga menerima layanan tingkat dan produk dengan nilai yang tinggi dari perusahaan.
Contoh pelanggan seperti ini adalah nasabah priority banking dan penumpang pesawat kelas eksekutif. Jumlah mereka biasanya tidak terlalu besar, namun memberi kontribusi yang signifikan terhadap revenue perusahaan.
Dengan demikian, apabila Anda sudah merencanakan untuk mengalokasikan anggaran dan program untuk memuaskan dan mempertahankan pelanggan dengan memperlakukan mereka sebagai raja, yakinkan bahwa Anda hanya memperlakukan raja yang sebenarnya sebagai raja! “Jangan malah membuat diri Anda seperti raja,” kata Je pada seorang pelayan di Banda Aceh yang membuatnya kecewa.[]