Setiap malam aku duduk bersama para paman dan makcik yang berleha-leha melepas penat setelah seharian bekerja di sawah. Di bawah rumah panggung kami, hampir selebar lapangan bola yang diisi beberapa lumbung padi, yang memisahkan sekat antara keluarga yang berkerabat dekat, ada kursi tempat bersenda menjelang tidur malam. Beberapa tetangga baru pulang dari tambak dan bercerita seputar menjala, hingga hantu Cina yang terus menerus menjajakan es di jalan setapak menuju Alu naga. Tidak ada yang begitu menarik.
Di antara keheningan malam dan desiran angin khas pedesaan, aku menjangkau dipan tidurku. Dan nenek pun mulai bercerita. Kali ini bukan cerita si Kancil. Konon, katanya, seorang petani melewati hutan menemukan seekor serigala yang sudah lumpuh keempat kakinya. Namun, kulitnya bersih dan tubuhnya sehat saja. Sang petani begitu ingin tahu, bagaimana serigala itu dapat hidup terus. “Aneh..!” batinnya.
Ia menunggu. Seekor harimau tiba-tiba datang menjelang sore. Ia membawa seekor kijang hasil buruannya. Harimau itu makan sepuasnya dan meninggalkan sisa bagi serigala. Begitu hari berikutnya, serigala itu terus bertahan hidup, bahkan cenderung “mewah”. “Maklum, walaupun sisa, tapi bekas makanan harimau,” batin si petani lagi.
Ia mulai mengagumi evolusi hidup, dan kebaikan “Tuhan”. “Aku juga akan menganggur di rumah, dengan penuh kepercayaan pada Tuhan, karena Ia pasti akan mencukupi segala kebutuhanku,” niatnya setengah berdoa.
Lalu ia melakukan niatnya, berhari-hari lamanya, tapi tak terjadi apa-apa. Ketika orang yg malang ini sudah hampir mati,terdengarlah suara: “Hai orang sesat, bukalah matamu pada kebenaran! Ikutilah teladan harimau dan berhentilah meniru serigala yg lumpuh!”
“Bekerjalah dan hiduplah dengan penuh harga diri nanti, begitu kamu besar,”.
Tapi aku belum tertidur. Nenek melanjutkan ceritanya. Kali ini tentang seorang moralis – kira-kira begitulah pemahamanku saat ini –yang berjalan jalan dalam hujan di sebuah kota. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis kecil yang menggigil kedinginan, dengan pakaian amat tipis. Ia basah kuyup. Tiada harapan pula baginya untuk mendapatkan makanan, apalagi air panas dan pakaian bersih.
Ia lalu marah dan berkata, “Tuhan! Mengapa Kau biarkan hal ini? Mengapa Engkau tidak berbuat sesuatu?!” Sementara waktu tidak ada jawaban. Tapi malamnya, dalam mimpinya, sebuah suara berkata dengan tegas, “Aku telah berbuat sesuatu, Aku telah menciptakan engkau!!!” Ia yang mampu, ia yang diberi penglihatan akan seorang gadis kecil yang merana, terbangun dan melongok gadis kecil di sebelah kamar yang telah ia selamatkan dan beri pakaian dan makanan. Ia pun tersenyum dalam mimpinya. Aku tidak tahu, apakah aku tersenyum atau tertidur begitu saja. Kuduga itu memang sebuah dongeng pengantar tidur bagiku. Tapi ketika hari ini, saat aku menemukan harimau, serigala dan gadis kecil yang merana, aku terpaku dan bertanya dalam hati. “Benarkah aku diciptakan untuk melihat ini semua?!!”[]