Semua orang Indonesia mengenal nama Sabang, ibukota Pulau Weh di utara Banda Aceh. Sabang berbatasan dengan Pulau Andaman milik India, tetapi ketika ditanya kepada masyarakat, di mana adanya Pulau Weh? Banyak yang tidak tahu.
Alkisah, dahulu Laksanama Ceng Ho dari Cina sempat singgah ke Sabang untuk mengambil air di Danau Aneuk Laot. Dia menemui penduduk setempat dan menanya, siapa raja yang berkuasa di pulau indah ini. Lalu seorang pria gagah maju memperkenalkan diri dan menyebut bahwa dialah penguasa di pulau ini. Namun, datang pula orang kedua.
“Lihatlah tubuhku yang kuat ini. Sayalah penguasa pulau ini,” ujarnya tak mau kalah.
Orang ketiga yang klimis memperkenalkan diri. “Sayalah raja pulau ini. Izin ambil air harus pada saya dan bayarannya tidak mahal.”
Singkatnya, ada 10 orang yang mengaku sebagai raja kepada Ceng Ho. Akhirnya Ceng Ho mengabaikan ke 10 “raja” tadi dan tanpa rasa cemas dan takut, ia menyuruh anak buahnya mengambil air di danau. Tak seorang pun bisa mencegah Ceng Ho. Apalagi dalam kapal itu terdapat ratusan orang anak buahnya.
Lalu bagaimana asal usul nama Sabang ini? Belum terbetik ikhwal riwayatnya di masyarakat. Dokaha hanya mereke-reka. Bisa saja nama ini berawal dari “sa” yang artinya sama dan “bang” yang berarti abang. Jadi bila digabung berarti “Sama bang”. Atau, “Sama saja abang”. Entah apanya yang sama juga tidak jelas. Mungkin tanahanya sama dengan daratan Aceh.
Demikian pula dengan nama “Weh” yang berarti pindah. Jadi ini pulau yang memindahkan diri, memisahkan diri dari daratan Aceh. Bisa jadi akibat gempa, ledakan gunung berapi, lalu terlemparlah sebagian daratan itu ke laut. Jadilah ia Pulau Weh. Pulau yang pindah dari daratan asalnya.
Sementara di pantai Banda Aceh arah utara ke Pulau Weh, masyarakat menyebutnya dengan Ulee Lheeue. Bisa bermakna kepala yang lepas. Kisah-kisah begini bisa menjadi fabel di tengah masyarakat.
Di pulau Weh ini terdapat Danau Aneuk Laot atau Danau Anak Laut. Airnya lebih dari cukup untuk dikonsumsi masyarakat. Ceng Ho mungkin orang asing pertama yang memanfaatkan airnya. Kemudian memang sejak lama sampai zaman pendudukan Belanda dan Jepang hingga era Indonesia, airnya dimanfaatkan kapal-kapal asing yang berlayar jauh.
Mendengar cerita ini yang seolah tak pernah habisnya, Dokaha mengantuk sendiri dan akhirnya tertidur. Semoga saja Dokaha tertidur mendengar nikmatnya cerita, bukan tertidur karena tak ingin lagi mendengar cerita; tentang Sabang.[]