Pak Harto sempat berhenti bernafas, tepat pukul 18.00 WIB, Jumat lalu. Putri sulungnya, Mbak Tutut, minta agar dipasangi ventilator atau alat bantu pernafasan. Maka Pak Harto bernafas kembali. Akibatnya sampai kemarin Pak Harto masih bisa bernafas karena mesin. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari melarangnya. “Saya bilang tidak usah, kasihan,” katanya.
Pendapat Bu Menteri tidak diindahkan keluarga Pak Harto. Mbak Tutut tetap minta dipasangi ventilator. Tentu saja Mbak Tutut lebih berhak. Kalau tanpa alat itu bagaimana Bu Menteri? “Kita tidak bisa menentukan, bisa panjang, bisa pendek,” jawabnya.
Dulu ketika Pak Harto lengser dan digantikan Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega banyak para Soehartois bilang: “Lebih enakan zaman Pak Harto..”
Orang-orang semacam ini konon andai pun Pak Harto meninggal, kalau bisa dibangkitkan kembali untuk memimpin bangsa ini. Jelas ini keterlaluan.
Nah, belakangan banyak wacana dikembangkan tentang presiden dari kaum muda. Istilah Bang Din Syamsuddin pembeliaan. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah ini presiden muda biasanya tak banyak beban sehingga cepat dalam mengambil keputusan.
Konon, kampanye tentang masalah tersebut dikembangkan sebagai pengganti jargon potong satu generasi. “Ujung-ujungnya nanti adalah anak-anak bau kencur disuruh memimpin bangsa ini,” sergah Ustad Sobar
Saya terkejut. Diam.
Dalam hati saya bilang: “Tau nggak, sih, ketika Soekarno memimpin usianya baru 38 tahun. M Natsir menjadi perdana menteri masih 40-an. Begitu juga Mahmud Ahmadinedjad, Presiden Iran itu juga masih 40-an tahun.”
Tapi terus terang, saya tak berani terang-terangan bicara begitu kepada Ustad Sobar. Harap maklum, dia orang tua. Nanti saya bisa kualat. Dan saya tahu pasti Ustad Sobar paling benci kata-kata regenerasi, sejak posisinya sebagai imum masjid belakangan digoyong anak-anak muda dari satu partai politik yang berstempel partai dakwah.
Sebagai basa basi saya menyodorkan tempe, sebagai cemilan sembari minum kopi.
Saya tak menduga Ustad Sobar berdiri. Mukanya merengut dan berkata: “Dah tahu tak punya gigi, ditawari tempe…!”
Ia ngeloyor pergi…
Maafkan saya ustad..[]