SENJA melata di lekukan naik-turun sepanjang jalan bertepi bukit di sebelah kanan dan berbatas jurang di sebelah kiri. Dan di awal temaram itu sayup-sayup lantunan azan berkumandang di beberapa meunasah kampung tepian gunung. Gema panggilan untuk memperhambakan diri kepada Allah SWT di magrib itu terdengar bagaikan mendesah di antara relung-relung ketinggian pohon rimba.
Namun alangkah sayangnya, lantunan azan yang merimba dan terdengar sakral menimpa sanubari acap ditingkahi deru sepeda motor tua bagai kafir di sakratulmaut ketika sang motor menanjak ketinggian sembari menghela muatan yang sarat beban.
Kawan, itu adalah deru beca tiga roda bermotor yang sedang mengakut kayu dari tepi gunung menuju ke kampung-kampung untuk dijual secara sembunyi-sembunyi ke panglong-panglong kayu.
Sebagai sebuah negeri pergunungan yang jauh di pedalaman benua, Nanggroe jarang diekspos media. Padahal berbagai sumber daya alam terdapat di sini, terutama potensi pertanian, kehutanan dan pariwisata.
Sekarang berbagai bentuk media massa demikian cepat mengakses berbagai perkara di dunia tiap hari. Tapi Nanggroe jarang sekali masuk ke situ, kecuali kalau sekali-sekali ada kejahatan kemanusiaan berskala internasional dan hayakan bencana alam yang paling “ter” di dunia seperti tsunami tempo hari.
Kami kira ini akibat peran para jurnalis kita sendiri yang kurang penggalian dan inovasi sehingga walaupun mereka bekerja untuk media-media internasional namun tidak dapat menginternasionalkan berbagai perkara di tanah ini sehingga tampaknya kita memang terabaikan.
Begitu juga tentang illegal loging. Bukankah ini perkara berskala dunia? Atau kita menganggap Nanggroe sudah aman dari penebangan liar? Belum, kawan. Kalau tidak percaya, melintaslah ke tanah ini saat magrib hari, pasti anda akan menemukan beca-beca tiga roda bermesin mengangkut kayu-kayu hutan.
Dan bahkan di sini banyak pemuda pribumi yang namanya enggan disebutkan bila engkau datang mewawancarai karena, kata mereka, bila banyak “bernyanyi” menyangkut pembalakan liar di hutan dalam wilayah negeri yang selama ini nyaris tak tersentuh pemberitaan media, itu agak berbahaya bagi kenyamanan hidup mereka.
Dan lihatlah senja yang kian melata di lekukan naik-turun sepanjang jalan bertepi bukit di sebelah kanan dan berbatas jurang di sebelah kiri. Malam dengan kelamnya telah mengelumuni kampung-kampung di sepanjang tepian gunung negeri kita. Gema azan magrib yang tadi terdengar bagaikan mendesah di antara relung-relung ketinggian rimba, kini berganti zikir.
Dan tingkahan deru sepeda motor tua yang bagaikan raung kafir di sakratulmaut ketika sang motor menanjak ketinggian sembari menghela muatan yang sarat kayu-kayu, telah jua sirna. Mereka tentu telah tiba di tujuannya masing-masing dengan kepuasan atas keberhasilan aktivitasnya hari itu. Yaitu puas mempertebal isi kantong sendiri sembari memperbesar potensi bencana untuk berkampung-kampung manusia lainnya. Kawan, di sini kau dan aku tidak berdaya.[]