Kruu Seumangat

WARNA hijau padi berusia sebulan yang menghampar beratus-ratus hektar, adalah rayuan yang menggelorakan hasrat ingin menikmati yang tak terbendung di lidah hewan-hewan pemakan rumput. Sedikit saja celah pagar terlihat di depan mata yang alpa dari perhatian sang petani, hewan-hewan ini segera menerobos dan hasil jerih payah pemilik petakan sawah, sejumput demi sejumput berpindah area; ke lambung-lambung hewan yang notabene adalah peliharaan para petani juga.

“Untuk mengantisipasi itulah maka ketapel sangat penting bagi kami,” kata seorang petani kepada seorang wartawan persis ketika baru meluncurkan beberapa batu kerikil ke arah seekor kambing yang terlihat sedang celingak-celinguk di tepian pagar di areal persawahan desa setempat.

Kebiasaan masyarakat petani di sini, pagar sawah untuk melindungi tanaman dari serangan hewan pemakan rumput, tidak dibangun secara permanen seperti dengan tembok semen atau dengan kawat berduri.

“Itu banyak sekali menghabiskan modal,” imbuh petani itu. Katanya, meski dalam dua tahun terakhir ini telah dibangun sepanjang tiga ratus meter pagar tembok plus kawat berduri dari hasil swadaya masyarakat, namun membuat areal persawahan sepenuhnya tertutup terutama di saat lahan baru habis panen, ini sangat merugikan bagi para petani yang rata-rata juga memiliki ternak lembu, kambing atau kerbau.

“Setiap selesai panen,” sambung sang petani, “areal sawah harus terbuka dari segala hambatan agar hewan ternak milik kami bebas merumput di sana. Saat-saat seperti itulah yang paling membahagiakan bagi mereka. Makanya kalau pagar hanya dibangun dari bambu belah, begitu habis panen, kami langsung meruntuhkannya kembali agar peliharaan kami bebas masuk ke areal sawah sesuka-sukanya dari arah mana saja.”

Di samping alasan pertimbangan tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa di desa itu banyak sekali tumbuh tumbuhan rumpun bambu. Dibandingkan mereka harus menghabiskan banyak modal untuk melingkari ratusan hektar areal sawah dengan tembok semen atau kawat berduri, mereka lebih memilih memanfaatkan bambu, yang juga sekaligus berfungsi sebagai upaya pembersihan lingkungan desa itu sendiri dari semak-semak bawaan perdu bambu setahun sekali atau setahun dua kali.

Melindungi ratusan hektar areal tanaman padi dengan hanya pagar bambu belah yang memanjang beratus-ratus meter, kemungkinan terdapatnya celah-celah dengan kejarangan yang memancing hasrat mendobrak dari hewan-hewan pemakan rumnput, selalu ada.

“Untuk megantisipasi itu,” ujar petani yang juga peternak itu, “melempar hewan-hewan itu dengan batu atau geulawa tentu tidak efektif; menembak dengan senapan angin malah membahayakan hewan itu sendiri. Maka pilihan untuk menciptakan jarak antara hewan-hewan itu dengan sisi pagar adalah dengan gandoe. Ini pilihan paling tepat. Bila kena batu hasil lemparan busu, efek jera di kulit binatang itu sangat terasa, tetapi itu tidak membuat mereka berdarah-darah.”

Ketapel yang dalam bahasa Aceh disebut gandoe atau busu, sudah mentradisi dalam masyarakat desa ini untuk menciptakan suatu kondisi kondusif, aman dan terjamin bagi keberadaan tanaman padi di areal persawahan mereka dari gangguan hewan-hewan pemakan rumput, terutama saat di pagar sawah terdapat celah yang memancing dobrakan dari hewan-hewan tersebut.

Namun tanpa disangka-sangka dengan maksud bersayap bernuansa politis, pada akhir percakapan, petani yang sudah sangat jera hidup sebagai petani sederhana waktu masa konflik Aceh-Jakarta di mana menjaga debit air di petakan sawahnya saja tidak bisa jika malam sudah tiba, mengatakan kepada wartawan itu bahwa di masa-masa akan datang, kalau para pahlawan kita hendak berjuang menjaga Nanggroe dari berbagai gangguan dan unsur penjajahan, hendaknya memakai filosofi sistem penyerangan busu atau gandoe. Musuh jera dan lari namun tidak menimbulkan kematian.

“Sebab kalau kita bersifat mematikan, musuh justru akan balik menyerang dengan segenap kekuatan yang mematikan sehingga terakhir yang banyak mati justru di pihak kita seperti kemarin itu,” tegas sang petani.

Lantas wartawan itu berkata, “Ya, seperti filosofi koran kami. Kami bukan karena ingin hidup aman berpuluh-puluh tahun dengan sikap diam seribu bahasa walau jelas-jelas perusak Nanggroe ada di depan mata. Kami tetap menyerang siapa saja yang ingin merusak Nanggroe. Namun bukan dengan senjata yang bikin musuh berdarah-darah. Cuma dengan ketapel, kok. Makanya hingga hari ini kami masih ada. Sudah berusia empat tahun.”

“Aduh,” pekik petani itu. “Tadi saya asyik ngomong malah jadi lupa mengucapkan, Kruu Seumangat, Seulamat Uroe Puwoe Thon nyang Keu-Peut keu Harian Aceh beuh,” kata sang petani seraya menyerahkan ketapel miliknya kepada wartawan itu sebagai hadiah ulang tahun.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.