KONON, di sebuah kampung, hiduplah seorang abid (ahli ibadah). Ia menghabiskan hari-harinya dengan beribadah kepada Allah. Berzikir, puasa sunat, salat tak pernah tinggal. Intinya ia sangat taat terhadap perintah Tuhannya. Segala kebutuhan hidup dan keselamatan diserahkan sepenuhnya kepada yang di atas.
Satu masa, kampung itu ditimpa musibah, ie beuna melumat segenap isi kampung. Tak tersisa satu pun. Ketika air laut naik ke darat, dengan kecepatan ratusan km/jam, penduduk kampung itu lari tunggang-langgang. Tanpa mempedulikan harta benda. Hanya satu yang ada di pikiran mereka, lari sejauh mungkin agar lidah air tak menyeret mereka ke laut lepas.
Namun Sang Abid tak beranjak dari balee tempat ia bermunajah. Dari jauh ia sudah melihat gulungan air bergerak cepat, mendekati balee. Saat itu ia meminta kepada Tuhannya, “Kuserahkan hidup ini kepada Mu. Selamatkan aku dari mala petaka ini.”
Dua menit melantunkan doa, Pak Geuchik datang melintas depan balai Sang Abid. “Cepat naik motor aku, sebelum air sampai kemari.”
“Tidak. Aku menunggu pertolongan dari Tuhan.”
Tak lama berselang, ketua pemuda lewat. Sama seperti Pak Geuchik, ia mengajak Sang Abid lari dengan pick up-nya agar selamat dari air bah.
“Aku tidak akan lari, sampai tuhan datang menolong hamba-Nya yang taat ini.”
Beberapa kali orang yang melintas mengajak lari. Sang Abid tetap pada pendiriannya. Menunggu pertolongan tuhan. Namun yang ditunggu tak datang jua, Sang Abid meninggal dunia ditelan ie beuna, jenazahnya tak ditemukan.
Di akhirat, pada kehidupan yang abadi, Sang Abid bertemu dengan Tuhan. Ia protes keras, kenapa Tuhan tak datang menolongnya saat musibah itu datang. Padahal ia ahli ibadah, tak pernah ia melanggar perintah Tuhan. Ia merasa Tuhan tidak menyayanginya.
“Aku telah menolong kamu wahai Sang Abid. Pak Geuchik, Ketua Pemuda dan beberapa orang yang mengajak kamu lari, itulah pertolongan yang aku kirimkan. Kenapa kamu tidak berfikir.” Sang Abid bingung, teuhah abah.
Kisah Sang Abid di atas kerap terjadi pada kita, saat berada dalam masalah, susah melilit, tak henti bermacam pinta kita haturkan kepada Sang Khalik. Yang minta lulus Pegawai Negeri Sipil-lah, lulus Polisi, bisa diterima jadi pegawai bank, dapat istri anak pejabat, bisa jadi toke manok dan sebagainya. Seolah ketika cita itu tak terwujud hidup menjadi buram, kita langsung memvonis, “Tuhan tak adil.”
Padahal selama ini kita sering mengabaikan peluang, kesempatan yang ada kita buang begitu saja. Seandainya peluang itu kita manfaatkan secara maksimal, mungkin kita bisa mendapatkan hasil lebih dari cita-cita awal. Mungkin juga, peluang-peluang yang kita biarkan berlalu begitu saja, adalah jawaban dari Tuhan atas doa-doa kita selama ini.[]