KESUMPEKAN di rumah dan rutinitas pekerjaan yang memenatkan serta jumlah isi dompet yang menipis drastis akibat tak berdaya menahan rayuan yang terus-menerus dari berbagai mata dagangan di sekeliling kehidupan, membuat saya meluncur ke luar dan berjalan kaki ke segenap lini kota.
Dalam wilayah kota kami ada beberapa ruang publik yang sangat inspiratif untuk relaksasi, yaitu alun-alun, gedung tamaddun, lapangan olah raga warisan indatu, taman tepi laut, taman di bawah pohon-pohon yang merindang, musium kenangan musibah amuk gelombang, pekarangan depan mesjid peninggalan dan beberapa lainnya yang sarat bukti ketinggian peradaban.
Saya tapaki langkah ini menuju ke mesjid. Halaman depan mesjid merupakan ruang publik bernuansa spiritual. Sedangkan yang lain ruang publik dengan nuansa kapitalisme yang kental. Di situ sarat aktivitas perekonomian yang memanfaatkan ruang publik untuk menggelar barang dagangan demi memancing aktivasi transaksi jual-beli.
Kondisi perekonomian anak negeri, termasuk situasi kedalaman ruang tertutup dompet saya, yang masih padat dengan kesenjangan antara yang berpunya dan yang tidak, ditambah jumlah pengangguran yang bukannya kian berkurang, maka tak semua lapisan masyarakat bisa menikmati ruang publik yang juga kerap disebut taman kota ini.
Seorang kepala keluarga, mungkin seperti saya juga, dengan andalan transporter seunit sepeda motor Mando Gapi dengan persediaan isi tangki secukupnya, dan dengan uang “mati” seratus ribu perak di sudut dompet, jelas harus berpikir seribu kali bila ingin memboyong dua anaknya ditambah ibu mereka ke taman publik ini. Padahal pada saat yang sama para bocah itu tengah libur sekolah.
Ya, para pelaku ekonomi lemah wajar memanfaatkan taman kota untuk mencari rezeki. Itu sisi positif dalam menjawab tantangan kepengangguran di negeri ini. Tapi selain itu, untuk ke depan ini paling kurang kami sudah harus memikirkan sebuah ruang publik atau taman kota yang bebas aktivitas bernuansa kapitalistik.
Pikirkan ini, bahwa ruang publik-taman kota yang bebas dari segala bentuk transaksi jual-beli antara pengunjung taman dengan para pedagang, sangat penting dalam konteks wahana sosial tanpa unsur pemisah antara keluarga dengan kemampuan membeli tinggi dan keluarga dengan kemampuan berbelanja rendah. Ini bukan akses kekesalan lantaran dompet saya lagi kempes. Bukan.
Dalam menata ruang publik, hendaknya kami tidak terlalu berorientasi profit dengan apologi demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah sehingga di setiap ruang kosong lantas bangun lapak jualan untuk meraup retribusi. Kami akan memikirkan juga taman bersantai bagi rakyat kecil yang bisa diakses tanpa risiko pengeluaran belanja. Lagi-lagi ini bukan karena kekesalan lantaran dompet saya lagi kempes habis. Bukan.
Jika enggan percaya, kini lihatlah kota kami. Di sini, ke mana pun wajah engkau palingkan, di situ akan kau temui dia yang merayu untuk menguras isi dompetmu sehabis-habis yang kau punya; melalui toko-toko, resto, warung-warung kopi dan pedagang temporer tepi-tepi jalan. Kota kami adalah kota yang sarat nuansa kapitalisme dengan balutan sebutan di mulut belaka sebagai bandar wisata spiritual.
Kota-kota lain di segala lini Nanggroe hendaknya jangan begitu. Nanggroe memang sarang pedagang. Tapi sesali saja, kenapa sampai ibukotanya yang mungil ini ikut ditenggelamkan dalam sesak “kebrutalan” kapitalistik? Sedikit-sedikit: dagang! Sedikit-sedikit: jualan! Sedikit-sedikit: uang! Tidakkah ada urusan lain di kota ini selain aktivitas kuras-menguras isi dompet? Pas dompet saya lagi kosong pula nih![]