Nyak Runi Kehilangan Sawah

NYAK RUNI termanggu pada ateung blang, matanya sayu hampir menangis menatap hamparan rumput di sawahnya. Luas hanya siamah, harta satu-satu dari ujung kafan Abu yang meninggal lima tahun lalu. Dari sanalah ia menggantung hidup selama ini. Bahkan sejak ia lahir, meugoe menjadi agenda rutin yang keluarganya lakoni. Sehingga tak salah bila ia menjadikan meugoe separuh dari tubuhnya.

Nyak Runi tak perlu sekolah tinggi sampai ke Universitas Pertanian untuk bisa sekedar merawat padi. Belajar bertani ngapain di gedung megah, dengan kursi empuk segala. Toh, bila seumula saja mereka tak paham. Sedangkan Nyak Runi belajar sama Abu dan Umi sejak umur 10 tahun. Proses belajar tidak tiori melulu, tidak ada whiteboard, tidak pakai spidol. Ia cukup mengikuti gerak tangan Umi saat mencabut bijeh sebanyak lima batang lalu dengan ujung lima jari menyatu bijeh tadi geuculok lam tanoh.

Ia tertawa terbahak-bahak saat Umi menghempaskan akar bijeh pada betisnya agar lumpur hilang, kemudian menindih bijeh-bijeh tadi seukuran bola sepak dan mengikatnya dengan daun pinang tua yang dililit.

Momen ini yang paling ia tunggu. Boh bijeh harus disebarkan ke seluruh sawah, biasanya Abu menggunakan situek. Setelah menempatkan bijeh ke sudut sana, Nyak Runi akan duduk di atasnya, sedang Abu menarik sampai ke neuduek. Seolah ia sedang berada di mobil mewah, sedang angin membelai raut belia itu.

Dari semua rutinitas menggarap sawah, panen adalah masa yang telah lama diimpikan. Semakin luas sawah biasanya tumpok semakin besar dan tinggi, dan gundukan jerami juga semakin besar. Nyak Runi bersama teman-teman sebaya melompat-lompat dari atas tumpukan jerami, kadang sembunyi di dalamnya setelah membuat rumah bawah jerami. Umi dan Abu tak pernah melarangnya bermain jumpung, walaupun mereka tahu itu bisa mencelakai Nyak Runi. Mereka ingin Nyak Runi berintim dengan sawah. Masa-masa seperti itu sudah pernah mereka alami semasa kecil.

Sejak usia 20 tahun hingga masuk kepala lima, Nyak Runi sudah begitu lihai menggarap sawahnya, dari seumeulhong sampai keumeukoh mampu ia kerjakan sendiri. Sementara Umi dan Abu semakin tua, tak mampu lagi turun ke sawah. Namun ilmu yang diberikan membuat Nyak Runi ahli dalam hal itu. Setiap hari ia berlomba dengan fajar, ia bekerja di sawah pada pagi buta, saat matahari sepenggal langit, ia sudahi pekerjaannya. Pulang ke rumah dan menjaga Abu yang sedang sakit.

Namun kini ia merasa separuh hidupnya mati. Sawahnya tak bisa lagi digarap, air semakin langka saja. Setahun sudah sawah itu terlantar, rumput-rumput liar merajalela, pematangnya tak tampak lagi. Sungai kecil di samping sana sudah dangkal, padahal selama ini dari sungai itu air dialiri ke sawahnya. Menunggu hujan menjadi derita sendiri, tak kunjung datang.

Sementara sawah di sekeliling satu persatu menghilang, berganti dengan bangunan tinggi, empat hingga lima lantai. Bahkan pemerintah membangun terminal bus pada sawah seluas enam hektar. Mereka yang sawahnya diserobot pemerintah diganti uang puluh juta. Sementara sawah Nyak Runi 15 meter dari batas terminal itu. Namun imbas yang ia terima lebih besar, ia tak bisa lagi bertani. Hatinya sangat rindu mendengar suara sabit memotong batang padi. Ingin sekali tangan tuanya menyentuh bulir-bulir padi yang menunduk ketika panen hampir tiba.

Tapi kapan? Pembangunan telah merampas kanoet bu Nyak Runi dan keluarganya. Pemerintah tersenyum bangga, programnya sukses. Kini pada pagi yang basah, Nyak Runi termenung sendiri, dari dalam komplek terminal puluhan bus keluar masuk. Klakson bus pelangi mengejutkannya. Tak sadar dari sudut mata cekung, air keluar tak henti. Tatapannya nanar. Nyak Runi kehilangan sawah[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.