Seperti Filosof

Hermine Hartley pernah bertutur, “Jika anda berpendapat bahwa dunia adalah dingin, usahakanlah untuk membuat api.” Kata Je, “Jika kemudian anda berpendapat bahwa dunia sudah panas,ungsilah ke tempat paling mendekati dingin.”

Je menafsirkan kutipan Hermine Hartley. Menurutnya, ketika hidup di dunia ini terasa dingin, dalam artian biasa-biasa saja, maka cobalah pada hal baru. Umpamanya, Ari yang memilih kuliah ke Banda Aceh setelah menghabiskan tiga jenjang sebelumnya di Sigli, yang membuatnya jenuh dengan kehidupan di Kabupaten Pidie yang “terkenal” dengan jalan rusaknya itu.

Ari kemudian jadi kuliah pada sebuah perguruan tinggi di Banda Aceh, yang olehnya dengan begitu menganggap dirinya sudah berusaha untuk membuat api dalam hidupnya, yaitu hidup di lingkungan berbeda: tanpa orangtua, tetangga, sahabat lama, dan sebagainya. Ari sudah harus melawan tantangan ibukota provinsi.

“Kira-kira demikian maksud Hermine Hartley, menurutku ya,” kata Je pada Isan di halaman masjid usai salat Dzuhur berjamaah. “Boleh boleh. Lalu, bagaimana dengan katamu tadi: jika kemudian anda berpendapat bahwa dunia sudah panas, ungsilah ke tempat paling mendekati dingin?” tanya Isan.

Je menjawab. Lihatlah Ari setelah setahun di Banda Aceh. Setelah membuat api, ia terbakar dengan api yang disulutnya sendiri. Ari seperti tak sanggup melawan kehidupan di ibukota yang serba mahal. Harga hidup di kota sangatlah tinggi. Akibatnya, Ari sempat minta pindah kuliah ketika memasuki tingkat dua: semester tiga. Ia ingin kuliah di kampung, semisal di Universitas Jabal Ghafur (Unigha).

Itu artinya, Ari sedang tak mampu memadamkan api yang disulutnya sendiri. Agar tak ludes masa depannya, Je menyarankan Ari untuk mencari usaha sampingan supaya ada uang masuk, dimana sebelumnya ia hanya mengandalkan kiriman orangtua dari kampung.

Di tahun selanjutnya, sejak merangkak pada semester tiga, Ari mencari kerja. Mencari ke mana-mana, bermodal Indeks Prestasi (IP) terakhir dan sedikit bakatnya. Ia tak diterima di sembilan tempat lamarannya. Sempat frustasi, tapi ia terus mencoba lagi.

Hingga yang kesepuluh, tak disangkanya, Ari lulus tes sebagai penyiar pada sebuah radio swasta di Banda Aceh. Usai magang beberapa bulan, Ari menjadi penyiar tetap sejak semester empat ia kuliah. Dan, tak perlu lagi menunggu jerih tangan orangtuanya.

“Nah,” kata Je pada Isan, “usaha Ari itulah seperti yang kumaksudkan. Ari telah mengungsi ke tempat paling mendekati dingin di ibu kota yang ‘panas’. Ia telah mencapai dingin level istemewa. Ia telah mendapat angin segar bagi kehidupannya di ibu kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri.”

“Cerdas kamu Je. Seperti filosof,” Isan mengapresiasi. “Ah, itu karena aku telah lebih dulu mendekati tempat paling dingin. Sekarang, giliranmu, Men! Bek kapreh ie reu-oh ureung syik sabe. Berpikirlah seperti filosof.” Isan cuma tercengang.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.