JAILANI lahir di Gampong Buhak. Gampong itu berada di daerah terpencil. Dikelilingi persawahan dan perbukitan. Orang-orang di situ ramah-ramah. Hidup rukun. Saling membantu antar sesama. Selalu salat berjamaah di meunasah saat masuk waktu salat farzu lima waktu.
Dan ketika sang ayah pergi ke meunasah, Jailani kecil selalu dibawanya untuk belajar praktik salat sembari mengaji di waktu malam. Ketika sudah di meunasah; Jailani akan mencolek-colek jamaah di sampingnya, menertawai, terkadang berkelahi dengan bocah-bocah lain. Dan, pas setelah salam pertama, Jailani akan diweng plinyueng (dijewer telinga) oleh si ayah selain mendapat cibiran dari jamaah lain.
Selain seperti di atas, satu yang paling khas dari orang Gampong Buhak adalah ketika ada kapal udara terbang melintasi gampong mereka. Apakah itu pesawat terbang, helikopter, jet, maupun satelit yang berkerlap-kerlip di kala malam. Lebih khas lagi, kalau sudah dalam keadaan demikian, mereka, terutama anak-anak, akan beramai-ramai meneriakkan, “Kapai tiek adek saboh… Kapai tiek adek saboh…”
Adalah permintaan mereka supaya kapai (pesawat udara) yang sedang terbang itu mentiek (menjatuhkan) adek (adik) satu (saboh) bagi si anak. Atau menjatuhkan anak bagi orangtua. Bagi anak yang belum punya adik, ia akan berteriak tak ada hentinya sampai kapai itu menghilang ditelan awan. Bagi pasangan suami istri yang mandul, terkadang meski malu-malu, atau untuk sekadar bergurau, juga meneriakkan, “kapai tiek aneuk saboh”.
Jailani kecil, samasa baru-baru ia masuk SD, sangat merindukan seorang adik. Ia meronta-ronta pada orangtuanya bagaimana caranya agar ia segera punya adik. “Mak, bloe (beli) adek. Bloe adek,” demikian Jailani merengek-rengek. Si emak sedih mendengarnya. Sebab, ia dikategorikan ibu yang male (mandul). Ia hanya bisa mengandung satu anak saja, yaitu Jailani. Setelah itu, si emak tak bisa mengandung lagi. Padahal ia amat kepingin punya berlusin-lusin anak, untuk melawan program Keluarga Berencana yang cukup melahirkan dua anak saja. Bukankah makin banyak anak itu makin banyak rejekinya? Tanya ustadz ketika mereka mengikuti pengajian malam.
Karena sang emak tak sanggup merealisasikan aspirasi anaknya, sebagaimana wakil rakyat tak sanggup merealisasikan aspirasi rakyatnya, maka si emak dibantu suaminya mengakali hal itu agar Jailani kecil tidak sedih dan terlihat ceria. Pasutri itu membelikan boneka kepada Jailani kecil. Dan, sering-sering, di mana ada anak-anak bermain, di situ ada Jailani kecil dibawa. Meski sesekali ia menyeru “kapai tiek adek saboh” untuk melepas rindunya pada seorang adik, Jailani tetap kelihatan sedih.
Ketika misalnya kapai itu tak lewat-lewat, maka ayah Jailani mengakali hal itu dengan geumayang-mayang (berguyon). Telunjuk kiri si ayah diarahkan ke bagian tengah lengan kanan, sementara telunjuk kanannya mengarah lurus ke langit. Dan, berkata, “Jeh hai sapai (Itu tu lengan).” Seketika Jailani senang. Tapi segera marah. Sebab, maksud sang ayah hanyalah menunjukkan sapai (lengan), di mana bunyinya ketika diucap hampir sama dengan bunyi “kapai”. Lalu sang ayah tertawa. Namun Jailani kecil sedih. Kemudian diberinya boneka. Tapi, bonekanya pun terkadang dikoyak-koyaknya. Tak berarti.
Begitulah Jailani kecil. Masa kecilnya ibarat kita rakyat kecil. Rakyat selalu meminta pada pemerintah untuk merealisasikan ini-itu, tapi tak kesampaian. Berkali-kali rakyat mendemo, menyeru, berpekik, “kapai tiek adek saboh,” tapi tak juga ditiek. Meski ada adek yang ditiek, tidaklah sempurna. Rakyat kerap mendapat adek yang cacat. Buta, bisu, gizi buruk, dan sebagainya. Atau, rakyat sering ditipu dengan janji-janji, tepatnya. Persis seperti Jailani yang ditunjuk sapai oleh ayahnya. Kenapa demikian? Mungkin, pemerintah mandul, sebagaimana dialami emaknya Jailani. Atau, ada kendala lain? Homhai.[]
“kapai tiek adek saboh,” tapi tak juga ditiek. Meski ada adek yang ditiek, tidaklah sempurna. Rakyat kerap mendapat adek yang cacat. Buta, bisu, gizi buruk, dan sebagainya. Atau, rakyat sering ditipu dengan janji-janji, tepatnya.