KETUA gampong kami rame diserbu warga, mereka menilai ketua gampong tak becus jadi pemimpin. Mereka terus menyudutkan ketua gampong yang sedikit lugu itu. Session terakhir ia pun dihadiahi ayam kampung.
Ketua gampong kami, biar begitu-begitu baiknya luar biasa. Ia menerima ayam sayur itu dengan penuh suka cita dan berdoa agar pemberi diberi rezeki yang murah agar tak terus-terusan minta dinafkahi oleh pemerintah.
Apalagi di bulan puasa ini, bersedakah pun akan dibalas oleh Allah berlipat ganda. Lalu ia pun pergi ke sebuah rumah janda paling miskin di gampong kami dan menyedekahkan ayam sayur tersebut padanya.
“Ini akan saya pelihara, mudah-mudahan telurnya banyak dan bisa beranak pinak, mudah mudahan bisa untuk jajan sekolah si Saleh.” Kata janda itu penuh haru.
Keesokan harinya pasukan pengunjuk rasa datang lagi, protes mereka masih sama seperti kemarin, tapi bungong jaroe yang diberikan berbeda, kali ini hanya boh timon gapu (timun kapur). Kepala gampong seperti biasa kembali mendermakan barang tersebut kepada janda miskin itu.“Gam, tolong kamu kasihkan lagi timun ini untuk Wak Birah.” Aku pun mengantarkan sesuai perintah ketua gampong.
“Ah, Gam, aku sebenarnya senang-senang saja menerima sedekah ini, tapi kau tahu sendiri Gam aku ini pendirita anemia akut, darahku gampang sekali turun kalau makan buah timun. ”
“Kalau begitu, Wak, coba Wak Birah katakan padaku makanan apa saja yang boleh wawak makan.” Ia pun mendaftarkan makanan apa saja yang boleh ia makan dan aku dengan sigab mencatatnya. Mudah-mudahan para pengunjuk rasa itu bisa membawakan makanan yang sesuai untuk Wak Birah.
Sepulang dari rumah Wak Birah aku menemui ketua gampong dan memberikan list menu yang didektekan basah Wak Birah. Ketua gampong langsung mengerti akan maksudku.
“Idemu, benar-benar cemerlang Gam, mudah-mudahan dengan daftar menu ini, sedekah para pendemo itu tak mubazir seperti boh timon gapu ini.”
Keesokan harinya para pengunjuk rasa datang lagi, kalau biasanya ketua gampong hanya diam seribu bahasa mendengar komentar mereka, kali ini ia buka suara. Ia naik ke atas kursi dan memegang mikrofon. Pengunjuk rasa diam membisu, raut wajah mereka penuh harapan, akhirnya protes mereka direspon juga.
“Saudara-saudara, terima kasih selama ini telah memberi bungong jaroe kepada saya, karena saya cukup mampu, jadi sedekah saudara itu saya dermakan kepada janda miskin yang membutuhkan. Berhubung janda dhuafa tersebut memiliki beberapa penyakit yang berhubungan dengan makanan, jadi ada baiknya anda membaca daftar menu ini sebelum berunjuk rasa, agar makanan yang anda bawa tak mubazir nantinya.” Begitulah pidato yang bersahaja dari ketua gampong kami.
Lalu ia menyerahkan daftar menu yang sudah diketik rapi oleh sekretarisnya pada koordinator lapangan para pendemo itu. Mereka pun mengerubungi beramai-ramai dan membacanya.
“Kolang-kaling, ie teubee (air tebu), cagruk, boh rom-rom, timphan asokaya,…” Ah Wak Birah ini tahu saja makanan enak untuk buka puasa celetuk para demonstran itu.[]