Buku Harian

AKU tak terlalu suka membaca, palagi bacaan yang berat, bila pun aku harus membaca Koran, itupun karena permintaan Pak Cek yang selalu ingin tahu berita up to date setiap harinya. Maklum Pak Cekku tak pandai membaca.

Bila ada bacaan yang kusukai, itu hanya buku harian. Aku selalu ingin tahu isi hati dan unek-unek orang lain. Bahasa tulis kadang lebih jujur daripada kata-kata lisan. Lagi pula emosi dalam tulisan yang ditulis oleh orang yang benar-benar tertekan memiliki fantasi tersendiri. Bila ke pustaka, aku tak kan melewatkan novel-novel kisah nyata atau kumpulan diary.

Tapi akhir-akhir ini ada terobosan baru di pasaran. Kini buku harian sudah mulai diterbitkan setiap minggu dalam bentuk tabloid. Aku sudah beberapa edisi membacanya dan harusnya edisi selanjutnya terbit hari ini. Aku benar-benar tak sabar. Ketika Amanruf datang aku langsung mengajaknya. “Mau kemana, Gam?”

“Aku mau beli beli Buku Harian Lan Smith.”

“Lan Smith menjual buku hariannya?”

“Ah, masa kau tak tahu, sekarang Lan Smith sudah menerbitkan buku harian dalam bentuk tabloid.”

“Maksudmu, tabloid home industri-nya itu.”

“Tentu saja, mana ada tabloidnya yang lain.”

Tapi Amanruf masih bingung mengenai buku harian itu, lalu ia menanyakannya lagi. Tentu saja itu buku harian. Aku sering membaca buku harian, seperti itulah isinya. Seperti saat ia bertemu ketua gampong bulan lalu. Sambutan ketua gampong sangat tak enak ia rasakan. Ia pun menuliskan unek-uneknya atas sikap ketua gampong.

Ia menceritakan dengan emosi naik turun bagaimana ketua gampong menolak untuk bertemu lalu memakinya karena Lan Smit terus memaksa. Ia menulis segala perasaan dan kebencian pada sikap ketua gampong yang temperamental itu. Sungguh tanpa tabir apa-apa, sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh media lain.

“Bukankah aku tak salah bila menyebutnya buku harian Lan Smith.”

“Ya, kurasa begitu, karena selama aku jadi wartawan, aku tak pernah menceritakan bagaimana pejabat pemerintah memperlakukan aku, yang penting bagiku, aku mendapatkan data yang kucari, hanya itu saja yang kupublikasikan.”

“Itulah tak enaknya koranmu, koranmu itu hanya untuk orang pintar dan professional seperti Pak Cek Salman. Sama sekali tak menghibur. Kalau tabloid Lan Smith sangat cocok bagi orang-orang yang haus sensasi sepertiku,” kataku kagum.

“Ah, tabloid seperti itu apa bagusnya. Sampai ketua gampong kentut pun harus ditulis, sungguh tak beretika. Kita hanya mempublikasikan apa-apa yang merugikan masyarakat, kalau Lan Smit, dia mempublikasikan sisi negatif pejabat yang telah membuat dirinya senidiri saja yang rugi, tidak universal, media macam apa itu, emosional sekali,” Amanruf mencibir.

“Memang penting masyarakat tahu kalau ketua gampong pernah mengatakan ia babi? Aku saja sudah berpuluh kali ketemu ketua gampong, tak pernah dimaki seperti itu.” Lanjut Amanruf.

“Itulah bedanya buku harian, disana kau bisa menulis apa saja, tak meski menurut orang penting, yang penting unek-unekmu pribadi tersalurkan. Terserah orang mau nilai apa, itu hak dirimu sebagai penulis buku harian. Aku sering melakukan itu bila lagi kesal pada Pak Cek, aku juga bisa beropini macam-macam terhadapnya, seperti mengatakan ia tak becus, kurang pendidikan, meski aku tahu Pak Cek tak selamanya seperti itu. Tapi bila emosi kau akan melupakan sejenak kebaikan seseorang, setelah mencaci makinya, baru kau akan puas. Begitu pun Lan Smith bedanya aku tak punya dana untuk mempublikasikannya.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.