Banda Aceh

KAMI warga Banda Aceh tapi sekaligus bukan orang Banda Aceh. Di sebuah kota besar seperti ibukota provinsi begini tentu di sini banyak keluarga yang berstatus warga urban. Situasi tertentu, profesi tertentu dan obsesi tertentu membuat kami pindah dari daerah-daerah dan bahkan kampung-kampung terpencil di seluruh Nanggroe ke sini.

Keberadaan kami di Banda Aceh banyak yang bersifat menetap dengan kepemilikan permanen terhadap rumah, tanah dan aktivitas matapencaharian. Di antara kami umumnya masih punya pertalian keluarga, kerabat dan ahli famili dengan daerah, kampung atau dusun terpencil tempat asal kami di Blangkejeren, Singkil, Sinabang, Takengon, Bireuen, Meureudu, Sigli, Tapaktuan, Meulaboh, Sabang, Kuala Simpang, Langsa, Lhokseumawe.

Tetapi banyak pula keluarga urban di Kota Banda Aceh yang sudah terputus samasekali pertalian darah, kekerabatan dan emosional dengan pelosok tempat asal kami di sudut-sudut terpencil tanah negeri. Keluarga seperti ini biasanya sudah menetap di Banda Aceh dalam kurun lebih setengah abad sehingga jangankan pusara anggota keluarga yang baru-baru meninggal, makam nenek-kakek pun terdapat di Banda Aceh.

Beda dengan anda. Anda bersekolah dari SD, SMP dan SMA di Kota Banda Aceh. Tapi dalam masa-masa itu, setiap libur sekolah anda selalu pulang ke kampung menghabiskan liburan bersama nenek dan kakek beserta kerabat-kerabat lainnya di desa.

Saudara sangat suka berliburan di kampung halaman, yaitu di kampung ibu saudara di Pulo Simeulue dan kampung ayah anda di Samalanga. Di sana banyak hal menyenangkan yang tak mungkin ditemui di sebuah kota seperti di Kota Banda Aceh ini. Misalnya berkumpul dengan anak-anak sedesa lalu pergi menangkap belalang sore-sore di areal persawahan yang baru habis panen; menangkap ikan gabus dan ungkot kruep dengan tangan telanjang yang menantang kejelian mata dan keuletan tangan di anak sungai tengah sawah; mandi beramai-ramai di sungai sambil main lompat dari tebing ke areal air yang dalam; menghalau kerbau dan lembu milik kakek saat tiba sore hari untuk digiring ke kandang di belakang rumah nenek. Dan, oh, betapa indahnya hari-hari saat sekali-sekali anda berlibur di kampung halaman.

Namun anak-anak yang lahir dan besar dalam keluarga urban yang tak lagi memiliki hubungan keluarga, famili, kerabat dan handai-taulan beserta emosional dengan pelosok dusun asal-muasal kita di sudut-sudut terpencil tanah Nanggroe, kendati keluarga ini teramat kaya sekalipun, masih mungkinkah kami menemukan situasi-situasi permainan bersahaja anugerah terindah sang kampung halaman seperti itu?

Orang bilang, kami bisa mencari kompensasi dengan permainan-permainan di kolam renang, areal permainan anak yang ada di supermarket-supermarket dan arena-arena permainan anak yang mewah yang hanya orang-orang the have saja yang mampu ke sana dan sarana-sarana peulale aneuk lainnya yang ada di kota.

Ah, sehebat apa pun permainan anak-anak di kota, semahal apa pun, semoderen apa pun, tetap tak bisa mengalahkan permainan mengejar beureukiek berama-ramai di bawah hujan deras sembari tubuh jatuh-bangun berguling-guling dan baju berlepotan tanah sawah.

Kasihan memang kami anak-anak di Banda Aceh ini. Walaupun dari keluarga sangat kaya, kebanyakan kami tidak punya kampung halaman di pelosok-pelosok terpencil sudut Nanggroe. Kami justru merasa sangat terpencil di sini. Di Banda Aceh.[]

One thought on “Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.