SEBAGAI orang yang hidup dari sampah alias pengumpul barang-barang bekas, hampir rata desa di pelosok Nanggroe kerap saya masuki. Tiap hari, dengan dua keranjang rotan di sandel belakang sepedamotor, saya masuk ke kampung-kampung untuk mengais sekaligus juga membeli barang-barang bekas yang dikumpulkan para petani di desa, untuk keesokannya saya jual lagi ke agen pengumpul di kota.
Mata pencaharian jenis ini tentu membuat saya kerap kemalaman di wilayah-wilayah perkampungan. Dari sinilah kisah bau ganja menjadi akrab di indra penciuman saya tiap awal malam di perjalanan.
Pada siang hari aktivitas bakar ganja tentu sama tingginya dengan malam hari. Tapi siang yang bercuaca panas dan banyak polusi, bau ganja tak begitu kentara di udara. Sedangkan lepas magrib alam mulai lembab dan udaranya mulai minus polusi sehingga sebatang saja lintingan ganja dibakar di sudut desa, sekampung warga bisa membauinya.
Oya, jika sempat, cobalah sekali waktu iseng-iseng sembari santai, jalan-jalan ke kampung-kampung saat habis magrib. Tiap melewati persimpangan desa yang di sana duduk nongkrong sekumpulan pemuda, hidung anda pasti membaui sesuatu.
Saya kira, sekarang perilaku hisap ganja sangat tinggi di kalangan pemuda kampung. Dan bahkan, kata orang, shabu-shabu pun sudah jamak masuk desa. Menurut saya, orang Aceh itu, beserta pemerintahnya dan para anggota parlemen, daripada sibuk-sibuk dengan qanun-qanun, lebih baik menyibukkan diri dengan usaha persuasive-nonhukum untuk memberantas ganja dan shabu-shabu pada pemuda-pemuda kampung.
Barangkali benar seperti kata beberapa pengamat kita. Orang sengaja menyibukkan Aceh dengan hal-hal kontroversi dan beragam tete-bengek yang sengaja dipolitisasi, padahal di balik itu mereka asyik membiarkan pemuda kampung terus teracuni, baik dengan ganja, shabu-shabu, judi buntut dan berbagai dekadensi moral lainnya.
Saya merasa bahwa saya memang curiga, yang mau mati-matian di seputar beragam qanun dan hal-hal politis lainnya itu, jangan-jangan mereka adalah pemuda-pemuda kampung yang sudah terpengaruh semangat halusinasi patriotisme-mendadak akibat racun ganja dan shabu-shabu.
Tapi maaf, saya terlalu lancang. Saya hanya seorang pengumpul barang-barang bekas di mana hampir rata desa di pelosok Nanggroe kerap saya masuki hingga tiap hari dengan dua keranjang rotan di sandel belakang sepedamotor saya masuk-keluar kampung untuk mengais sekaligus juga membeli barang-barang bekas yang dikumpulkan para petani di desa untuk keesokannya saya jual lagi ke agen pengumpul di kota.
Sekali lagi, saya hanya pengumpul barang-barang bekas yang sok bicara idealisme kemaslahatan Nanggroe dalam konteks kemerosotan moral dan mental para generasi akibat ganja dan shabu-shabu. Tapi saya sudah lama menunggu orang-orang mengabari tentang kondisi ini di desa-desa pedalaman kita. Tak ada. Lantas saya yang mengetahui semua itu seterang apa adanya, apa salahnya kalau sekedar mengaku, bahwa saya memang melihatnya.
Lantas menyangkut dengan aturan hukum narkoba di mana saksi bisa menjadi tertuduh karena tidak melapor apa yang disaksikannya, nah, bagaimana, kalau apa yang saya saksikan dan semua saya lapor ke polisi atau Badan Anti Narkoba, tentu saya khawatir hal ini akan tercium pelaku hingga esok-lusa saya tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai pengumpul barang-barang bekas yang tiap hari masuk-keluar kampung-kampung kita di pedalaman.
Soalnya sekarang yang namanya barang bekas memang banyaknya di kawasan pedalaman sehubungan dengan meningkatnya kesejahteraan dan income per kapita masyarakat. Dan orang yang kita lapor boleh jadi esok-lusa bakal kita temui lagi di bangku bambu persimpangan desa serupa. Nah, kan, sudah saya bilang, saya cuma pengumpul barang-barang bekas yang hidup-matinya anak-isteri tergantung pada benda-benda buangan di desa-desa pedalaman Nanggroe kita.[]