SAYA bukan manusia bertabiat materialis berhati kapitalis dengan kemampuan mencari laba dari segenap barang dan jasa yang lewat di depan mata dan bahkan gejala alam yang berpotensi bencana bagi manusia lain mampu dikalkulasi peutron boh thek-tok untuk meraup keuntungan yang besar dari segenap celah-celahnya. Bukan. Saya bukan kapitalis. Saya hanya seorang perajin tudung.
Selama puluhan tahun merajut tudung di sela-sela aktivitas utama saya sebagai petani, terbilang hasil karya saya telah dikenakan orang di mana-mana, terutama oleh kalangan petani yang berlahan cocoktanam di areal persawahan. Saya bersyukur punya keahlian ini dan sekaligus ini sangat berguna untuk melindungi kepala para penyiaga sumber pangan kita dari sengatan deraan siksaan matahari. Dan harga pun sangat terjangkau untuk ukuran petani kita yang dari hari ini hingga hari-hari di kemarin-kemarin itu memang begitu-begitu saja tak bisa kaya-kaya.
Aduhai petani kita. Jelata di bawah semesta. Lihatlah di sana, sawah terbentang luas. Juga matahari, betapa lantangnya bersinar. Ini negeri tropis. Khatulistiwa tepat di atas kepala. Bagi orang yang bekerja di alam terbuka seumpama petani kita, lecutan surya adalah tantangan. Tapi tudung buatan saya menawarkan anugerah; memayungi kepala; melindungi wajah, bahkan meredam tempias panas hingga sebagian dada.
Dan tudung juga lambang pencitraan bagi petani di belahan bumi mana pun. Seorang photografer luar negeri yang bertumit lasak waktu meliput musibah kita saat tsunami dulu, suatu hari menempuh perjalanan tengah sawah kawasan yang jauh dari garis pantai tempat musibah. Di sini ia melihat seorang petani tengah menggarap sawah. Dilewatinya petani itu tanpa diambil fotonya. Tak seberapa jauh berjalan, dijumpai lagi petani lain yang juga tengah menggarap sawah. Diabaikan juga petani itu tanpa diambil fotonya.
“Kenapa?” saya bertanya. “Yang dua tadi,” jawabnya, “tidak memakai tudung. Gambarnya tidak mencitrakan petani sungguhan. Yang ini, meski sudah selesai bekerja namun memakai tudung,” jawab sang photografer seraya meminta izin seorang petani yang tengah meniti pematang usai menggarap tanah, untuk dipotret.
Tidak sahkah seorang petani bekerja tanpa tudung di atas kepala? Sah-sah saja. Apalagi pagi hari saat sang surya belum terik, atau petang hari ketika sang mentari sudah pudar, tudung tak begitu urgen. Tapi begitulah, secara grafis, foto harus mewakili segala matriks fakta. Dan petani yang memakai tudung dianggap memenuhi persyaratan itu. Jpret, jpret, jpret! Tudung memang bagian tak terpisahkan sebagai pelengkap atribut tempur bagi para jenderal lapangan di garis depan pertahanan pangan.
Di negeri kita yang agraris ini, tudung banyak dirajut di setiap daerah dan laku keras saat musim turun ke sawah. Harga per lembar, ada yang sepuluh ribu, tigabelas ribu hingga limabelas ribu rupiah. Tergantung model dan ukuran. Bahan baku pembuatan adalah pelepah dari pangkal daun rumbia. Pohon yang tumbuh di rawa-rawa ini banyak terdapat di mana saja di tanah kita.
Proses pembuatan topi tudung dimulai dari mengupas kulit pangkal daun rumbia, menjemur selama 5 hingga 10 hari; menggunting berdasarkan pola yang sudah dibentuk sesuai ukuran dan mode; menjahit dan memasang klah (simpulan rotan yang sudah diraut halus) sebagai hiasan di puncak-lancip tudung.
Kalau cuma menjahit, sehari saya bisa menyelesaikan lima lembar. Tapi mengupas bahan hingga menunggu kering, itu yang menghabiskan banyak waktu. Kalau dikali-kali, sebulan saya mampu menyelesaikan limapuluh lebar tudung.
Rata-rata selembar tudung menghabiskan modal Rp 4 ribu, baik ongkos kerja maupun untuk membeli rotan. Jadi, dalam selembar tudung saya beroleh laba sekira Rp7 ribu. Setiap dua minggu atau sebulan sekali, agen datang ke rumah untuk membeli tudung-tudung ini. Jadi merekalah yang menjual hasil kerja saya. Saya hanya menjahitnya di rumah.
Oya, tentu timbul pertanyaan, sehubungan dengan makin maraknya pengundulan hutan yang berefek pada gangguan keseimbangan alam hingga makin tingginya tingkat pemanasan global yang membuat matahari terasa makin tajam sinarannya, adakah terasa tudung buatan saya semakin laku di pasaran? Saya memang tidak tahu itu. Yang jelas, asal mampu merajut, alhamdulillah tetap saja laku.
Adapun sehubungan dengan makin maraknya penebangan hutan yang berefek pada gangguan keseimbangan alam hingga makin tinggi tingkat pemanasan global yang membuat matahari terasa makin tajam tusukannya hingga timbul pertanyaan apakah saya punya target perencanaan untuk menaikkan harga tudung buatan saya?
Nah, kan, sudah saya bilang, saya bukan manusia bertabiat materialis berhati kapitalis dengan kegairahan mencari laba dari segenap barang dan jasa yang lewat di depan mata dan bahkan gejala alam seumpama warming global yang berpotensi bencana bagi segenap manusia lain mampu dikalkulasi peutron boh tek-tok untuk meraup keuntungan yang besar dari setiap celah-celahnya. Bukan. Saya bukan kapitalis. Saya hanya seorang perajin tudung.[]