Bundaran Selebriti

Sesekali datanglah ke Banda Aceh untuk melihat-lihat benda yang terkenal layaknya selebriti. Tempat-tempat yang sering dikunjungi. Orang-orang atau tamu sering berpose dan menumpahkan segala rasa di lokasi itu. Bukan Masjid Raya Baiturrahman. “Itu sudah biasa,” kata Je, “tapi sebuah bundaran di tengah kota.”

Bundaran Simpang Lima? “Ya, inilah sebuah simpang di Banda Aceh. Sebuah tugu tegak di tengah bundaran berjari lima itu. Tugu inilah yang paling terkenal. Ia hampir tiap hari masuk koran. Segala ekspresi manusia tumpah di sana,” kata Je.

Ketenaran Bundaran Simpang Lima mungkin lebih dari artis-artis ibukota yang tersohornya hanya ketika muda saja. Tidak dengan Bundaran Simpang Lima. Masa segala masa. Aksi segala aksi. Pergerakan segala pergerakan. Tuntutan segala tuntutan. Kelompok segala kelompok. Kiranya, pendemo patut berterimakasih pada bundaran itu, seharusnya, jika aksi mereka membuahkan hasil.

“Kalau di Jakarta, ada Bundaran HI,” kata Je. Bundaran HI mungkin lebih terkenal lagi. Setiap hari masuk media, terutama tivi. Bundaran HI lebih terkenal dari selebriti ketika mobil-mobil yang melintas sekitarnya tak jarang terjun ke kolam di bundaran itu, selain aksi segala aksi juga digelar di sana.

“Kenapa orang-orang yang kecewa berunjuk rasa di bundaran?” Karena di situ mudah terkenal. “Orang-orang yang ingin dirinya terkenal, beraksilah di bundaran. Kan setiap detik pengguna jalan melintas dan pasti tertarik menyaksikannya. Kalaupun tak selera, pengguna jalan tetap akan melihatnya ketika berhenti saat lampu merah menyala. Lalu, ketika masuk koran, pengunjuk rasa akan terkenal bersama kepala tugu yang terlihat seksi dan bertanduk itu,” kata Brahim.

Tak mau orang lain, berdemo sendiri jadi juga. Misal di Bundaran Simpang Lima Banda Aceh pada Mei 2011. Seorang ayah berunjuk rasa sendiri di sana karena kecewa anaknya tak lulus Ujian Nasional. Nyaris sama dengan yang dilakukan seorang warga di Bundaran HI Jakarta pada awal Juni 2011. Seorang lelaki paruh baya berunjuk rasa sendiri memebela Presiden SBY. Ia prihatin pada SBY yang selalu dikritik. “Mereka kemudian dimuat di halaman utama media, dan, terkenallah,” kata Je.

“Kenapa kalau ingin terkenal harus berdemo di Bundaran?” tanya Brahim. Karena bundaran di tengah kota itu ibarat iklan di media massa, kata Je. Di sela-sela pemutaran film atau acara, pasti ditampilkan iklan atau pariwara. Begitu pula dengan bundaran yang posisinya seperti as roda kendaraan. Bundaran itu ibarat sebuah film atau acara. “Nah,” kata Je, “sesekali pasti ada aksi di bundaran yang kadang kala muncul tiba-tiba. Kadang-kadang tampil unik. Terkadang itu-itu aja yang dilakukan, persis seperti produk-produk yang selalu ditayangkan televisi. Adakalanya juga aksi kecil-kecilan yang dilakukan berulang-ulang, persis seperti iklan pendek yang diulang tiga kali beruntun,” jelasnya.

O… “bulat,” sahut Je. Jelaslah. Maka tak heran jika bundaran di tengah-tengah kota iti bak model yang sedang bergaya di atas catwalk atau seperti penyanyi yang sedang pentas di panggung-panggung. Jangan heran pula orang-orang yang berunjuk rasa di bundaran itu ibarat produk iklan. Akrab di mata pemirsa. “Ingin terkenal? Beraksilah di bundaran kota,” tantang Je pada Brahim, namun si Him asyik mencium jempol kakinya di kos-kosan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.