SIAPAPUN merindukan puncak. Dari perkumpulan terkecil hingga terbesar. Apapun itu. Misla karier. Iman. Kepemimpinan, tentu jabatan. Ketika sudah di puncak, ia berkeinginan ke puncak yang lebih tinggi lagi. Dapat puncak pengen puncak. Puncak, puncak, dan puncak. Begitu juga yang terbesit di pikiran Cak Pun suatu kali. Cak Pun, begitu kerap disapa kawannya karena ia suka ngomong dalam bahasa Jawa, juga ingin puncak, seperti halnya elit-elit politik di Aceh, atau di Indonesia.
Tahun lalu Cak Pun gagal meraih puncak kepemimpinan lembaga tertinggi mahasiswa. Ia kalah suara dari kandidat lain. Cak Pun kecewa. Maka kali ini ia ingin meraih puncak. Ia mencalonkan diri sebagai calon gubernur di fakultasnya. Cak Pun mengusung Sisi Po sebagai wakilnya. Sisi Po, begitu kerap disapa kawannya karena ia mirip Cina, adalah kawan akrab Cak Pun. Mereka sahabat seruang, sekos, dan sebantal tidur. Tekad mereka sudah bulat.
Dikabarkan pemilihan akan berlangsung di akhir tahun ini. Karena itu mereka menyiapkan diri jauh-jauh hari. Kampanye. Di sela-sela kuliah, mereka gelar acara ini itu yang dapat diikuti dan menyenangkan semua mahasiswa se-fakultas. Mereka sering-sering ke kantin, balenin kawan-kawannya. Mereka juga melakukakan bakti sosial. Itu hal wajar. Mereka mencontohnya pada calon pemimpin di Aceh dan Indonesia.
Namun Cak Pun dan Sisi Po terenyak kemudian, saat mendengar pemilihan bakal ditunda. Tak jadi tahun ini. Tapi di satu sisi mereka juga senang. Peluang menang lebih terbuka. Mereka punya lebih banyak waktu untuk berkampanye. Dan mereka memanfaatkan hal itu.
Setahun kemudian Cak Pun dan Sisi Po terpilih. Ketika duduk di puncak tertinggi, mulanya mereka harmonis. Di pertengahan kepemimpinan, hubungan mereka longgar. Mahasiswapun banyak kecewa selama mereka menjabat. Mereka sering didemo. Mereka sering berselisih. Mereka malah kian ambisius. Dan mereka ingin naik jadi pemimpin lagi kemudian. Target mereka, jadi presiden mahasiswa.
Ketika mencalonkan diri jadi presiden mahasiswa, Cak Pun dan Sisi Po tak satu pikir. Mereka memimpin kubu masing-masing. Tak lagi akrab. Mereka pun pisah ranjang. Pisah kos. Pisah ruang. Mereka saling perang urat saraf. Saling musuhan. Tak ada lagi persahabatan. Keharmonisan sirna. Mereka memutus silaturrahmi gara-gara memperebutkan posisi puncak.
Alamak. Semoga kisah singkat Cak Pun dan Sisi Po tidak terjadi lagi di Aceh dan Indonesia, atau di mana saja. Kalau dibilang semoga hilang, itu payah, sebab ini jaman buruk bagi kepemimpinan. Maka setidaknya berkurang saja. Jangan gara-gara memperebutkan posisi puncak seperti cerita Cak Pun dan Sisi Po, suatu organisasi, komunitas, populasi pada hancur dan pecah-belah.