Cakology

“AMAD, apa kabar?” tanya Apa Piah, suatu pagi di warung Chiek Brahim di ujung gampong kami. “O, baik Apa,” sahutnya.

Jarum jam di dinding warkop sudah menunjuk sembilan. Sementara aku duduk di situ sejak pukul 7.30, setelah mengantar istri ke sekolah tempatnya mengajar, menjadi kebiasaanku ngopi sejenak sembari berpikir di mana aku mencari berita hari ini. Harapanku dapat beri besar hingga menjadi headline sehingga upah kerja profesiku sebagai wartawan pemula meningkat di bulan ini.

Warung Chiek Brahim tidak pernah sepi. Orang singgah sejenak, ada juga yang sampai seharian, di sini multi kalangan, kopinya enak, murah dan bisa ngutang. Apa Piah yang sudah membelot dari partai pohon ke partai daun sejak Aceh damai, saban pagi dapat dijumpai di sini. Bahkan politisi kelas lalat ini sepertinya sudah memegang card members chiek brahim warkop. Apalagi bila menjelang sayembara politik, seperti tahun ini, 2011.

Menurut Apa Piah, politik adalah sesuatu yang penting. “Jangan hindari politik, apalagi takut padanya,” pesan Apa Piah. “Berpindah-pindah partai itu juga bahagian dari politik?” sergah Chiek Brahim sambil mengambil beberapa gelas yang sudah kosong untuk dicuci.

“Berpindah partai itu ibarat meukawen. Bedanya hanya dalam politik tidak boleh polipartai, kalau kawin boleh poligami,” jelas Apa Piah.

Dia melanjutkan, seorang anggota dewan bisa saja digugat cerai oleh partai. Lihat itu di koran kemarin, partai Cak Min fasahkan dua anggota DPR-RI. Sebulamnya, kata dia, Partai Islam berbasis lokal di Aceh Besar juga menalak anggota DPRK. Dan baru-baru ini juga di Calang, seorang kader partai berkuasa di Aceh Jaya menalak anggota DPRK.

“Jelas kan? Nah, soal saya bercerai dengan H juga begitu, kan saya mau berteduh istirahat di bawah daun-daun lain dengan paradigma yang berbeda. Tidak ada yang salah, jangan juga saya disalahkan dong! Inilah yang kemudian disebut hak politik,” lanjut Apa Piah dengan semangat 76-nya.

“Politik itu elastis-sistematis-idealis tidak luput juga pragmatis,” sambung Apa Piah. “Karenanya, jangan takut dalam berpolitik atau minimal menentukan pilihan, kenapa takut pilih saya pada April 2009 dulu?”

Apa Piah terus berkoar-koar. Yang lain hanya jadi pendengar yang budiman. “Saya, sudah kalkulasi bahwa saya akan mendapat satu kursi DPRK meskipun kursi patah, sayangnya hasil perangkingan kalah 12 suara dengan partai kiblat. Padahal saya banyak program di kepala untuk mencapai kesejahteraan kita. Tapi apalah daya, kesempatan tiada. Ya sudahlah… mau bilang apa,” ujar Apa Piah, seolah mengenang masa lalu yang buruk.

“Menurut kabar koran, politisi Aceh Jaya masih tiarap padahal pilkada hampir sampai, ini apa pasal Apa?” timpa Teungku Saad sembari membenarkan posisi duduknya.

“O… itu bukan tiarap, tapi lagi pasang kuda-kuda. Kan politik juga butuh hitung-hitung, kalau salah hitung bahaya kan? Lihat! Kadang kantor KIP dibakar, kenapa? Salah hitung kan? Atau bermain-main dengan hitungan,” jelas Apa Piah. Semua penikmat kopi pagi itu mengangguk, seraya berujar, “benar”, kecuali aku yang hanya tertawa geli.

“Jadi begini ya, saya baru pulang dari jakarta memastikan calon independent bisa naik bupati atau tidak, ternyata pasal tentang pelarangan calon independen dalam undang-undang Aceh sudah dicabut teman saya, Mahfud MD. Ini dengar baik-baik,” pinta Apa Piah. “Sepulang dari Batavia sana singgah di Banda Aceh, saya menjumpai banyak mahasiswa asal kampung kita minta saya untuk maju, jalurnya independen. Bila kalangan intelektual saja sudah meminta hal itu kenapa warga di sini tidak mendukung?”

“Meunyo kana ie keupeu lom leuhop, meunyo kana droe keupeu lom pileh gob. Kan begitu pepatah lama peninggalan nektu kita? Jangan lupakan petuah-petuah itu,” pinta Apa Piah. “Pilkada kali ini kita harus bersatu, membuat bergaining dengan kecamatan-kecamatan lain, buktikan bahwa di sini juga ada kandidat yang mampu bersaing dan ambil bagian di ajang demokrasi. Lon tuan neuk petrouk hajat menseujahterakan awak droen mandum, hana kursi di dewan kon rintang untuk jeut keu bupati. Ta pakek jalo independen, kumpulkan katepe,” lanjut Apa Piah berapi-api.

“Apa, ini ada sms dari otk. Soal katepe itu gampang, siap kita kumpulkan tapi jangan lupa bahwa cokology bahagian dari perbuatan tercela. Sebelum jadi, bilang bahwa bersama kita bisa. Begitu sudah jadi, sendiri juga bisa. Sebelum jadi, bilang bahwa demi rakyat. Pas sudah jadi, sudah demi sendiri,” kata Amad membaca isi es-em-es sembari menyodorkan Hp ke Apa Piah.

“Ah, sudah siang nih… liputan dululah. Awai Apa beuh…” ujarku pada Jalafiah yang akrab disapa Apa Piah.

Tapi… “Hai…hai… ka bayeu kupi ile, lon hana kuba dompet nyou,” teriak Apa Piah sambil bergegas pergi.[]

2 thoughts on “Cakology

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.