Ketika kecil, Dokaha bandel betul. Sering berantam main keroyokan dengan teman-temannya. Pihak yang dirugikan melapor pada bundanya. Pulang ke rumah ia kena cambuk sang Bunda. Tapi ia tidak pernah kapok juga. Satu waktu ia cegat pedagang es lilin. Es direupah tiga potong tanpa bayar. Kawan-kawan si pedagang yang sama usia dengan Dokaha melapor kepada bundanya. Lagi-lagi ia kena seunut alias cambuk.
Di pengajian meunasah, tajwidnya sering salah. Ia malas belajar. Malas menghafal surat-surat pendek. Lalu sang teungku menyusurh dia berdiri di depan kawan-kawannya. Lagi-lagi ia kena cambuk.
Di Sekolah Dasar, pernah kena seunut karena membogem temannya yang tidak mau kasih contekan.
Karena kapok kena cambuk melulu, ia pun rajin belajar. Ia tidak mau bergantung pada yang namanya barang contekan. Ia hafal mengaji kitab kuning, suka menolong kawan. Tidak disangka, cambuk ternyata bisa jadi obat mujarab menekan angka kriminalitas dan temperamental Dokaha. Ia menjadi kritis terhadap sesuatu tetapi tidak mau main tangan.
Suatu hari, setelah tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) tahun 90-an, ia membaca koran lokal pada rubrik berita luar negeri di Singapura. Ada kejadian, seorang pemuda mencorat-coret mobil dengan cat semprot. Sang pemuda dikenakan hukuman 15 kali cambuk yang membuat tubuhnya lembam, merah dan berdarah. Singapura lebih dahulu memberlakukan hukuman cambuk. Tapi tidak satu negara pun protes.
Di Aceh, sejak hukum cambuk diberlakukan atas perlakuan maksiat, sudah sangat banyak pasangan yang asusila yang kena cambuk. Banyak penjudi, pemadat yang kena cambuk.
Reaksi yang kena cambuk pun beragam juga. Ada yang malu besar. Ada yang belum dikenakan hukuman, sudah pingsan duluan di Sabang. Tapi ada pula yang tanpa malu-malu menyerahkan tubuhnya, silakan pilih bagian mana yang mau dicambuk. Dan ia pun tampak kegelian sehingga meninggalkan kesan lucu bagi penonton yang memadati pelaksanaan hukum cambuk di meusijid.
Hukum cambuk sudah jadi sebuah fenomena di Aceh. Menimbulkan aksi pro kontra di Aceh dan luar Aceh, bahkan luar negeri. Tapi hukum cambuk kini diterima baik masyarakat.
Mereka menangkap sendiri pelaku-pelaku maksiat, entah itu pemabuk, penjudi dan penzina. Kasus zina yang banyak tertangkap tangan juga beragam. Di dalam rumah dan rumah kos, di lapangan terbuka, dalam mobil yang bergoyang bak kena Badai Katarina. Dan masih banyak lagi.
Dokaha kali ini melihat satu arak-arakan pasangan zina di Desa Sukorejo, Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa. Mereka diarak keliling kampung. Di dadanya terpampang pamflet bak demonstran. “Saya ada suami tapi berzina dengan orang lain,” bunyi tulisan di dada ibu muda. “Saya berzina dengan isteri orang,” bunyi pamflet di dada pemuda. Kedua yang bukan sejoli itu tertunduk malu.
Dokaha termenung. Pasti pasangan mesum ini iking-ujungnya akan kena cambuk. Tapi kenapa bila penegak hukum yang ketangkap tangan tidak kena cambuk? Kasus pejabat penegak hukum di Sabang cuma dimutasi dari Aceh. Sang cewek yang sempat stres dan pingsan malah sudah balik ke Jawa tanpa kena cambuk. Sungguh diskriminatif perlakuan hukum di negeri ini. Kenapa penegak hukum pilih kasih?
Dokaha pikir, ada cambuk lain yang perlu diberikan kepada masyarakat yaitu cambuk hati. Mungkin masyarakat pelaku maksiat sudah tidak punya hati. Bahkan pelakunya ada yang ketawa lucu saat dicambuk. Sungguh keterlaluan.[]