Salam penuh cinta serupa Tuhan ciptakan Adam dan Hawa serta jagat raya. Maaf penuh cinta pula saya ucapkan kepada pembaca, terutama masyarakat muslim di mana saja berada. Membaca cang panah kali ini dengan mengetengahkan judul “valentine”, bukan berarti apa-apa. Ini hanya sekedar mengenang sejarah tanda bukti cinta. Sungguh, saya tak maksud apa-apa.
Marilah melihat kelakar ini dengan penuh cinta sehingga tak mengundang praduga apa-apa, sebab valentine hanya sebuah kata. Sekedar melihat sejarah pembentukan sebuah nama, gelar valentine yang dinobatkan setiap tanggal 14 Februari disebut-sebut diambil dari nama seorang lelaki (ada yang menyebutnya pendeta), yang mengabdikan seutuhnya kehidupan dia kepada Tuhanya semata.
St Valentine, demikian nama lelaki itu. Ia meninggal pada 14 Februari 269 Masehi. Kemudian hari ini dipilih sebagai pelaksanaan ‘undian cinta’. Kisah lain mengatakan St Valentine sempat meninggalkan ucapan selamat tinggal kepada putri seorang narapidana yang bersahabat dengannya di akhir pesannya itu ia menuliskan, “Dari Valentinemu”.
Terlepas dari segala dongeng yang dianggap mensejarahkan itu, semua orang di penjuru dunia mengakui Hari Valentine adalah hari cinta, hari berkasih-sayang. Sementara itu, di belahan dunia yang lain, yang dikenal orang di kampung yang sangat bernama, terdamparlah sekelompok orang yang terusir dari negeri seberang.
Sesungguhnya, seperti ombak laut tsunami yang menggulung sebagian tanah Aceh dengan cinta, mungkin serupa itulah ombak laut Hindia membawa kelompok tersebut ke kampung bernama di ujung timur sana. Cinta membawa mereka terdampar di negeri itu. Namun, sang pemimpin di sana malah menebarkan benih duka di media. Kehadiran kelompok terusir dari negeri seberang tersebut dianggap sang pemimpin sebagai beban yang bertambah-tambah.
Di lain pihak, orang-orang berjibaku mencari sedekah atas nama cinta untuk sesama umat beragama. Di trotoar jalan, di lampu merah, di gedung-gedung megah, di rumah-rumah, mereka membawa kotak amal. “Sedekah tuan dan nyonya sebagai bukti cinta kepada saudara kita sesama muslim di Palestina,” ucap mereka pencari sedekah tersebut.
Tanpa bermaksud melarang mencari sedekah itu, ada yang seperti lepas dari sela-jari-jari kita, dari ingatan penguasa. Bahwa kaum terdampar di negeri bernama yang kemudian orang-orang sepakat menyebutnya dengan suku Rohingya adalah juga muslim. Mereka bertuhankan Allah swt. juga. Namun, sudahkah sedekah atas nama cinta mengalir untuk mereka?
Di media, saya membaca, pemimpin negeri bernama, tempat kelompok terusir itu terdampar, malah mengatakan (sekali lagi) kehadiran Rohingya adalah beban. Oh, valentine, kau mengaku membawa dan menitipkan cinta, tapi di sini, sedang ditabur benih luka. Di bulan ini, bulan penuh cinta seperti orang bilang, tapi di bulan ini juga ada luka bertambah-tambah dari mereka…
Ah, saya jadi ingat pesan bijak, bahwa jangan memancing sesuatu yang akan mendatangkan petaka. Lam geureupoh bèk tapeuleuh musang,
lam raga pisang bèk tapeuleuh tupee. Jadi, mungkin saya harus dia saja daripada cinta berubah dendam dan luka.[]