DEPIK yang saya nikmati malam itu di salah satu warung di Kota Takengon, adalah untuk yang pertama sekali ikan air tawar itu saya makan untuk sepanjang hidup saya yang hampir mencapai usia setengah abad ini.
Spacies rasbora leptosoma itu boleh jadi ada di perairan tawar belahan lain bumi ini. Tapi khusus depik yang telah merebut hegemoni pecitraan danau Laut Tawar, adalah satu-satunya di jagat raya.
Depik benar-benar anugerah istimewa terindah hibbah Sang Penguasa Semesta Yang Maha Kasih kepada segenap penghuni alam raya kendati mereka hidup di sudut terpencil di pojok terlancip tanah bumi.
Untuk depik, terima kasih pada-Mu, Tuhan kami. Tapi hamba baru mengecapinya ketika usia harapan hidup hampir di ujung kesempatan. Padahal saya terlahir, besar dan, ubanan di daerah yang hanya berjarak 5 jam perjalanan dengan bus umum dari haribaan lembah Leuser dan Burni Telong di mana di tengah-tengahnya depik menghuni.
Dan apa yang terkata dalam hati ketika untuk pertama kali dalam hidup ini ikan sebesar-besar kelingking itu saya urai di antara dua katupan baris geraham?
Baik. Saya katakan dulu, bahwa malam itu sang depik yang tersisa cuma sepiring kecil lagi, itu hanya digoreng dengan campuran bawang, on teumurui dan garam sekedarnya. Cuma baru segitu diramu-masak, namun, oh.
Sungguh, belum ada kata dan bahasa buat ungkapkan gurihnya dia. Sumpah, belum tercipta istilah dalam perbendaharaan tutur manusia buat gambarkan nikmatnya dia. Potong leher saya bila depik kupuja dalam untaian kata nan bohong belaka.
Tuhan, terima kasih buat depik yang hanya Engkau khususkan ada di Dataran Tinggi Gayo. Tetapi, ampunkan dosa saya yang teramat alpa dan terlalu lamban untuk menikmati sang depik hingga sudah begini terlambat untuk mensyukuri. Ampunkan, Tuhan.[]