Saat aku kecil, aku dipaksa mengaji oleh ayahku ke sebuah tempat pengajian. Memang dipaksa. Jauhnya tiga kilo meter. Di tempat pengajian yang ada masjidnya itu, ada sebuah buku, aku baca setiap malam.
Buku itu tak berjudul dan tak ada nama penulisnya. Tapi katanya itu buku keramat. Sebuah buku dongeng yang dikeramatkan. Di sana tertulis, orang Aceh cerdas, berani dan kuat.
Aku sangat bangga membacanya, aku saat itu merasa diri sebagai orang Aceh. Betapa bangganya seorang anak jika ia tahu kabilahnya punya sejarah gemilang dan cerdas.
Kebanggaan pada Aceh pernah kutemukan pada seorang gadis yang kuwawancarai untuk sebuah profil prestasinya. Begitulah kebanyakan anak kecil, bangga pada sejarahnya yang tak pernah terbukti.
Gadis itu sama dengan aku waktu kecil. Bangga pada kabilahnya. Namun, ketika aku melewati sebuah simpang kehidupan, kutemukan sebuah fenomena, ternyata kebanggaan yang dulu dipercaya tidak berdasar.
Bila disebut orang Aceh hebat, tidak juga. Orang hebat mana mungkin hasil alamnya diambil orang luar sementara penduduk di sekeliling kilang gas termasuk penduduk miskin.
Bila disebut orang Aceh punya sejarah gemilang, tidak juga. Mana ada sejarah gemilang tanpa meninggalkan bekas. Konon, bukti sejarah kebesaran Aceh telah dihancurkan Belanda.
Jika memang Belanda bisa menghancurkan bukti sejarah Aceh, berarti Aceh masa silam tidak sehebat yang dibanggakan anak muda sekarang.
Jika memang Belanda menghancurkan bukti sejarah Aceh, mengapa ada makan Nahriyah di Geudong, mengapa ada makam Malahayati, makam Sulaiman, Nuruddin. Nah agak meragukan bila bukti sejarah dihancurkan tapi masih ada yang tertinggal.
Juga mengapa masih ada gunongan, sebuah tumpukan semen tanpa nilai seni yang dibanggakan pengagum sejarah. Padahal, gunongan dibangun Iskandar Muda hanya untuk menyenangkan hati seorang perempuan yang ditawannya jadi isteri.
Bila disebut orang Aceh berani. Tampaknya tidak juga. Kini banyak pejabat besar, baik wajah lama dan baru diduga korupsi, tapi tidak ada rakyat Aceh yang mendemo mereka dan menghancurkan penindasan itu seperti pada Raja Lois di Perancis.
Bila disebut Aceh itu beragama Islam kuat, tampaknya tidak juga. Harapan pada Tuhan tampaknya kian mengecil. Pengurus agama kini mengharapkan bantuan dari pemerintah yang korup.
Nah, lalu apa yang mesti dibanggakan sebagai orang Aceh? Tidak ada kebanggaan selain kebanggaan itu sendiri. Lagi pula, Aceh adalah komunitas besar manusia yang lahir dari percampuran sekian lama.[]