Suaraku memang nyaring, tapi bukan untuk menipu anak yatim dan janda korban konflik. Dan aku tidak pernah menjual sepotong ‘ayat suci’ pun. Jika memang harus menipu, aku tidak akan menipu mereka, tapi aku akan menipu orang yang telah menipu kalian.
Dek Nong, berikan aku seruling dan menyanyilah! Karena lagu musik jiwa. Begitulah kata Kahlil Gibran. Namun kali ini kita tidak membahas isi kepala si Yahudi ini. Kita hanya membahas tentang Aceh. Aceh yang tidak pernah kita tahu bagaimana benar adanya di masa silam dan masa depan.
Dek Nong, sebelumnya, aku ingin bertanya padamu. Di antara baik dan buruk itu ada apa? Di antara jauh dan dekat ada apa? Di antara surga dan neraka ada apa? Di antara beriman dan kafir ada apa? Namun satu hal yang pasti, di antara kemarin dan esok ada saat ini.
Dek Nong, tidak terjadi apa-apa sebelum ada sesuatu yang menyebabkannya. Begitu pun Aceh yang kita ‘cintai’ ini. Namun sayang tidak kita perjuangkan sampai martabatnya setara rumpun lain di belahan benua lain pula.
Kemarin, aku dikabarkan tentang sebuah kisah. Kemarin, aku dikabarkan tentang sebuah harapan. Kemarin, bukan hari ini. Kemarin telah berakhir tadi. Dan kita tidak kembali padanya.
Terkait Aceh, Dek Nong, bukannya kini aku sinis. Namun kepercayaanku pada keagungan Aceh memang kini ‘goyang.’ Bukannya aku tidak ‘mengakuinya,’ namun kemunafikan yang terjadi bisa mengubah apa pun. Termasuk besi pun meleleh. Tanah pun jadi tembikar. Atau air pun membatu.
Aku tahu, Dek Nong, melawan arus bukanlah pilihan cerdas menurut sebagian orang. Tentunya para pecundang itu. Mereka suka mengikuti arus dan dihanyutkan sampai di laut tak bernama.
Dek Nong, Aceh kemarin dikeramatkan. Itu kautahu. Ada hal yang amat pantang diakui apalagi dihormati di sini. Itu terjadi kemarin. Namun kini, itu malah ditabik. Apa kautahu maksudku, Dek Nong?
Aku tidak juga mengatakan persetan dengan kebanggaan masa silam itu. Tidak kukatakan. Hanya ada sesuatu seperti yang kaulihat di seberang jalan itu.
Ada dua suara yang berkoar dan terdengar nyaring. Satu dari mulut beo, satu lagi dari desah nafas pekerja.
Kau di kelompok mana, Dek Nong? Di kelompok beo? Atau pekerja yang lintang-pukang merambah sejarah dengan usianya yang hanya sekali sempat di bumi yang akan segera kiamat ini.
Aku pernah jadi bagian dari pekerja itu, Dek Nong! Aku adalah satu di antara situs sejarah yang tidak mungkin dicatat. Pujian atau sumpah serapahmu, Dek Nong, tidak akan membuatku lebih baik atau lebih buruk dari sebenarnya.
Aku adalah aku, dan beginilah aku seutuhnya, baik itu kauterima atau tidak. Tapi aku tidak mengatakan persetan dengan segala arsip harapan tapal batas di tanah rebutan.
Suaraku memang nyaring, dan itu kautahu dan aku pun tahu, tapi bukan untuk menipu anak yatim dan menjual ‘kepala’ para janda korban konflik. Pun perlu kukatakan padamu, aku tidak menjual sepotong ‘ayat suci’ itu untuk dapat makan. Aku hanya menjual bagian dari diriku yang memang pantas kujual.
Itu pun hanya sepersen. Selebihnya hanya untukku sendiri. Tidak akan kuberikan pada apa dan siapa pun, dan yang kuberikan memang kuberikan sepenuhnya. Namun yang tidak mau kuberikan itu telah pernah kuberikan untuk sesuatu yang kaupuja hari ini tapi kau tidak memberi apa-apa padanya.
Dek Nong! Aku pernah memberikan diriku untuk itu! Itu tak perlu kautahu dan tak perlu kusebutkan. Karena aku hanya mencatatnya untuk diriku sendiri sebagai naskah yang kelak dikeramatkan seperti buku ‘Dongeng Aceh’ juga.
Melawan arus, Dek Nong! Lebih baik dari mengikuti arus yang diarahkan orang. Baik besar atau kecil bekasnya, yang penting ia bukan arus yang telah dicatatkan. Berikan tanda kau pernah hadir di antara kami, agar kelak kau kami catat di beranda surga.
Kini, kautahu Dek Nong, segala dogma yang disebutkan tidak dilakukan oleh pengkoarnya. Itu yang membuat aku lebih baik tidak ikutan memuja, kendati aku pernah.
Ya, aku pernah memujanya di saat jutaan orang Aceh menganggapnya aneh. Kini, konon, para pemuja itu banyak. Ketika perang telah berakhir, banyak pahlawan muncul. Sementara mereka tidak pernah terlihat di medan tempur.
Itulah Aceh yang dulu pernah kupuja saat dilarang dan kini kaupuja saat tak ada larangan itu lagi. Suaraku memang nyaring, Dek Nong, tapi bukan untuk menipu anak yatim dan janda korban konflik, juga bukan untuk menjual ‘ayat suci’.
Aku bagian dari situs sejarah itu, dan aku berhak atas setiap sikap yang kuambil, meski itu kausetuju atau tidak. Aku adalah anak Aceh, sampai sejauh ini, belum malu aku jadi orang Aceh. Kelak, aku tidak tahu. Apa kautahu, Dek Nong?
Satu lagi, seharusnya sejarah membuat sebuah bangsa berperadaban tinggi. Namun, di Aceh, sejarah membuat orangnya berpikir ke belakang dan merasa masih hidup di zaman kuda. Itulah imbas buruk sejarah kita, Dek Nong!
Sejarah yang kita puja, tapi tidak melanjutkan kegemilangannya. Jika nenekmu hebat, Dek Nong, kau cucu yang bagaimana? Pembual atau pelaku?
Kau kan tahu, Dek Nong! Singapura tidak punya sejarah gemilang seperti Aceh, tapi berbandingkah Aceh dan Singapura? Lihat sekelilingmu, Dek Nong, dan berpikirlah sekali lagi tentang arah di depan kita.
Arah di depan kita amat jauh bedanya dengan yang disebut dalam ‘Dongeng Aceh’ itu. Aku yakin kautahu itu, Dek Nong!
Ingatkah kau, Dek Nong, pada sebuah senandung ‘jampok’ (burung hantu-Aceh- yang diidentikkan dengan pemuji diri) di kebun kelapa kita?
“Bangsa Aceh, bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya.” Sepertimu sekarang, aku sering menyanyikannya dulu dalam parade mimpi dan medan harapan, sebelum kau tertidur di antara laut dan kabut.
Dek Nong, lihatlah di sekelilingmu, kita hidup saat ini, bukan kemarin atau esok. Tapi esok masih mungkin kita lalui pada jalan yang berbeda, namun masih demi Aceh.
Suaraku memang nyaring, tapi bukan untuk menipu anak yatim dan janda korban konflik. Pun aku tidak menjual sepotong ‘ayat suci’ pun, kendati aku memang bukan orang suci.
Dan kautahu, Dek Nong, orang suci tak pernah dilahirkan oleh seorang perempuan pun. Begitu pun bangsa kita. Bukan bangsa yang suci dari dendam dan harapan. Kita adalah rumpun besar yang dikecilkan, sekaligus rumpun kecil yang membesarkan diri.[]