Salam kawan, kemarin aku mendengar banyak sekali keluhan dari seorang tua yang gerah melihat pembangunan di negeri kita ini. Kenapa tidak tuan, keluhan itu datang beriring tidak adanya finalisasi pembangunan yang dikerjakan kontraktor, dalam membangun fasilitas publik tersebut.
Tuan, pernah kau ke pusat kota? Disana ada jalan yang melewati gedung kantor diraja kecil daerah kita. Coba lah tuan sekali-kali berjalan kesana hingga ke ujung simpang mesra itu. Apa yang tuan lihat dan rasakan mengenai pembangunan fasilitas publik, terutama badan jalannya tuan?
Percayakah tuan, kalau badan jalan itu sengaja dirusak tepat di depan Sekolah Dasar Negeri Tahija? Iya, dirusak oleh orang-orang yang ingin menggembungkan perutnya dengan keuntungan namun lupa memperbaiki apa yang telah dirusak tersebut, dengan dalih pekerjaan yang belum berakhir. Padahal, sudah berapa bulan jalan itu rusak tuan?
Aku saja sampai kelimpungan melewati jalan tersebut. Selain berdebu, terkadang goncangannya yang begitu kuat membuat as roda sepeda motor kita, lama kelamaan bisa menjadi tak menentu lagi. Bentuk bannya sudah tak beraturan lagi. Ah….kacau tuan.
“Itu belum seberapa nak. Kalau jalan yang kamu lihat ini, mungkin bisa dilihat oleh orang banyak. Kalau dikeluhkan, mungkin bisa saja masih digubris. Coba kau lihat ke dalam perkampungan kami nak. Disana lebih parah. Perbaikan drainase itu, telah membuat jalan-jalan ujung lorong rumah kami tak lagi seperti dulu. Ketika hujan tiba, maka lumpurnya subhanallah…”
Begitulah cerita seorang tua yang berkeluh kesah pada ku tentang proyek drainase itu. Proyek yang digencarkan oleh walikota, kota kita yang entah apa maksudnya. Aku hanya bisa berandai-andai untuk menenangkan seorang tua itu yang datang mengeluh padaku. Aku berkata padanya, mungkin, pada awalnya target pembangunan itu guna mencegah beragam penyakit yang disebabkan genangan air di kota kita.
Lalu aku kembali menenangkan orang tua itu dengan mengatakan, mungkin saja pembangunan drainase itu untuk mencegah atau mengurangi wabah penyakit demam berdarah atau malaria. Mungkin, pembangunan drainase itu bisa saja untuk memperindah kota agar tidak mendatangkan bau menyengat, karena tumpukan sampah yang telah lama tergenang di selokan. Aku terus mereka-reka segala kemungkinan yang bisa kupikirkan untuk ku tumpahkan pada orang tua tersebut. Alhasil, ia diam. Ia terpana melihatku. Mungkin dalam benaknya aku adalah bagian dari proyek pembangunan ini. Karenanya, raut wajahnya menjadi kecewa. Mukanya berkerut. Matanya nanar menatapku.
Merasa bersalah, kemudian aku melanjutkan mengatakan segala kemungkinan lain yang lebih memihak pada masyarakat tak berdosa ini. “Atau, mungkin saja pembangunan drainase itu untuk menghabiskan anggaran di akhir jabatan. Sehingga, pembangunan yang bertujuan positif tersebut tidak terkontrol dengan baik dan kemudian menjadi ‘terbiarkan’ begitu saja. Berlumpur ketika hujan dan berdebu ketika panas menyengat,” ujarku pada orang tua itu. Ia tersenyum lega, lalu bergumam tak jelas.
Lalu, ia pun pergi meninggalkanku yang terus memikirkan segala kemungkinan lainnya, untuk menenangkan orang tua tersebut. Namun, ia terus berlalu. Pergi membelakangiku. Jauh dan jauh.
“Ah…mungkin kontraktor itu telah berleha-leha disana, digedung bertingkat di luar kota kita. Sehingga ia sudah tak melihat lagi, ada beberapa tempat yang pernah ia gali untuk mempelancar drainase kota kita, kini meninggalkan luka. Meninggalkan debu dan lumpur bagi orang-orang kecil seperti seorang tua itu, bagi saya, bagi anda dan mungkin bagi anak-anak kita yang masih menyusui pada ibunya,” teriakku, pada orang tua tersebut yang telah hilang dalam kepulan debu drainase yang tak pernah usai itu.[]