Siapakah aku? “Kamu adalah hamba, yang mengabdi bagi dzat yang akhir, dalam pencarian yang amat panjang,” jawab as-Sybli seorang sufi Persia terkenal. Demikianlah bila ditanyakan siapa aku pada agamawan, mereka yang berfikir religius: kamu adalah hamba!
Bagi awam, kamu akan tertera dari identitas kartu penduduk, atau bukti diri apapun. Ada nama, asal daerah, tanggal lahir dan warga negara. Itulah kamu! Sesederhana itu!
Namun ahli filsafat akan menjawab berdasarkan teori Parmenides, Herakleitos, Socrates, Camus, Nietzsche, dll. Psikolog akan menjawab siapa aku berdasarkan teori Hartmann, Lacan, Freud atau sesuai ´kotak-kota´ lainnya, dari apa yang diterima oleh yang bersangkutan dalam menyerap ilmu psikologi, di mana jawaban tersebut mengacu kepada kata ´ego’.
Ilmu spiritualis Patan Yali menjawab siapa kita manusia: “We are all ideas that are continously traveling from one point to another points, from one level to another levels, from one place to another places” (mirip virus).
Jadi ego itu virus, yang harus dihilangkan. Paling tidak begitulah pemahaman para spiritualis. Dengan ego, kita hanya menjadi manusia yang ”sakit”.Itu juga bukan stigma mati, karena bagi yang lain, ego bisa bermakna manusia seasli-aslinya (manusia).
Tetapi betulkah realitas kita sebagai ´manusia´ dapat dikenali atau ter/difahami secara terkotak-kotak, menurut pemahaman berbagai disiplin ilmu dalam dunia pendidikan, maupun dalam berbagai ajaran seperti di atas?
Konon, kita terbagi dalam fisik, jiwa dan ruh. Para ”guru” mengatakan demikian. Fisik jelas terlihat dalam dimensi tiga, jiwa tidak terlihat namun terasakan oleh lima senarai indera dan perilaku. Ruh ”terlihat” dari pancaran energi gabungan fisik dan jiwa.
Ego, adalah bagian buruk paduan fisik dan jiwa yang bangga pada rupa fisik atau material. Fisik manusia yang melupakan, atau bahkan menutup mata pada rantai evolusi panjang milyaran tahun adanya kehidupan di bumi. Ego adalah penghambat ”pertemuan” harmonis fisik, jiwa dan ruh, dengan titik awal asal muasal.
Bahasa agamawan mengatakan, titik awal dan akhir asal muasal itu sebagai Tuhan. Bila tidak disadari, ego akan berkembang sejajar perubahan waktu yang dijalani, atau usia manusia itu sendiri. Ego akan menjadi super ego, hingga fisik dan jiwa terpisah sia sia tanpa membuahkan energi yang cukup bagi ruh, untuk berkelana dengan kemungkinan menemukan titik asal muasal.
Bila anda belum mengerti sampai di sini, berarti anda hanya fisik tanpa jiwa. Jadi memang tidak perlu takut terpisah, karena memang tidak pernah akan bertemu dan menghasilkan ruh. Tidak semua manusia sempurna menghasilkan energi atau ruh yang ”bertenaga”.
Butuh ”kesadaran”, atau connsciousness, bahasa yang coba di-ilmiahkan bagi sebuah pencapaian kesadaran yang amat tinggi. Bahasa sufi namanya ma’rifat.
Lalu, apakah ´ego´ itu? Betulkah ´ego´ berfungsi sebagai ´kontrol´ atas ´ID´ dan ´super ego´? Seperti yang dikatakan Freud? Mengapa pula ada sebagian orang yang berupaya sesuai fahamnya ingin menekan atau bahkan menghilangkan ´ego´? Sufisme adalah contoh ajaran atau latihan menghilangkan ego.
Dan bagi hidup sebenarnya, menghilangkan ego adalah kunci menemukan keserasian antara fisik, jiwa dan ruh. Bahwa kita harus meninggalkan ego. Meninggalkan ego akan menemukan kehidupan kekal. Mati sebelum mati. Kedamaian hati yang beraroma surga.Surga itu sekarang! Kalau kita menunggu nanti saat menunggu ajal, bisa kemungkinan besar kita tidak akan sampai ke sana.
Siapakah aku?
“Kita tidak akan pernah mengenal diri kita sendiri…? Tidak mau mengenal diri sendiri atau… Justru karena takut untuk mengenal diri sendiri?” Maka anda tidak pernah punya bekal untuk membentuk energi.
”Hidup sudah diberikan. Kini terserah pilihan Anda sendiri,” tutur Guruku, seorang sufi India. Jadi, benarkah freewill sebuah hidayah, untuk menggapai apa saja? Berfikir apa saja, dan mencapai apa saja, termasuk penemuan jati diri? Mikir…!