Emas Curah

Di atas kelandaian hamparan kerikil tepian alur ini, kami, para perempuan pendulang emas dari dusun paling terpencil negeri ini, mendirikan tenda dari terpal plastik hitam dan putih dan di seputaran tenda inilah kami tiap pagi menanak nasi, menjerang air untuk meracik kopi dan lalu turun ke alur berair dingin, mengeruk pasir berbatuan ke dalam dulang yang terbuat dari kayu, menghayak dengan gerakan spiral, lalu menelisik di antara pasir halus berwarna hitam di dasar lancip dulang, mencomot satu-per satu lempengan emas yang biasanya sebesar-besar butiran dedak padi (lhok), yaitu mencomot dengan telunjuk yang kami olesi liur dan kemudian memasukkan butiran emas itu ke dalam botol plastik bekas balsem yang kami gantung dengan tali di leher.

Di alur tengah-tengah belantara begini kami melakukan aktivitas mendulang sampai dua minggu. Selama itu biasanya kami dapat mengumpulkan rata-rata tiga gram butiran emas masing-masing per orang. Jika dihitung dengan uang berarti berkisar antara Rp 800 ribu hingga satu juta rupiah.

Dan untuk menghitung penghasilan bersih dari satu juta itu, setelah dipotong biaya bahan makanan, ongkos antar dari kampung ke tepi jalan dalam wilayah dekat hutan serta keperluan lainnya, rata-rata menghabiskan Rp 500 ribu rupiah. Sisa Rp 500 ribu itulah rezeki maksimal bagi kami sebagai pendulang tradisionil ini.

Kami berasal dari gampong paling terpencil negeri kita. Dan aktivitas mencari rezeki melalui usaha pendulangan emas ini sudah kami geluti selama bertahun-tahun dan bahkan turun-temurun. Semua alur di pedalaman rimba yang mengandung potensi emas curahan ini sudah bagai kampung halaman kedua bagi kami. Dan kini ketika Nanggroe sudah damai dari prahara konflik bersenjata di mana segenap tanah Nanggroe dan semua lini rimba Indatu sudah bebas ditapaki, maka berbondong-bondonglah mereka dari seluruh negeri menuju ke sini; yang dari Pulau Jawa; yang dari Sumatera Utara; yang dari wilayah-wilayah yang tercecer dari tata peta; datang ke rimba kita di bawah naungan perusahaan-perusahaan eksplorasi yang besar dan moderen untuk menggali tanah hingga ke kedalaman inti bumi; memahat tebing untuk mengumpulkan batu bergoni-goni; memprosesnya dengan bantuan air raksa yang ampasnya entah dibuang di mana.

Kami hanya pendulang emas curahan yang berserakan di pasir-pasir dasar alur. Kami tidak menggunakan air raksa. Tapi rezeki kami cuma sebegitu. Sedangkan mereka yang menggunakan air raksa rezekinya bisa beratus-ratus juta. Konon kata orang, terutama orang-orang media, kami adalah sekelompok perempuan pendulang emas tradisional yang sangat bersahaja yang mendulang butiran emas curah di alur-alur rimba dan menjualnya langsung ke agen pengumpul tanpa memprosesnya terlebih dahulu dengan air raksa.

Dan kata orang-orang media juga, kami perlu dibina dan dibantu oleh pemerintah. Tetapi kami sering berkata pada sesama sambil istirahat di tengah rimba, “Bagaimana pemerintah akan membantu kami sedangkan kami tidak sanggup membantu orang-orang di pemerintahan sebagaimana yang mampu dilakukan oleh pendulang-pendulang profesional di bawah perusahaan-perusahaan eksplorasi moderen itu.”■

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.