“Menurutmu, apakah Tuhan ada?” tanya Nyak Do kepada temannya Cut Him. Nyak Do seorang lelaki paruh baya, intelek, kaya dan bergaya hidup glamour namun taat agama. Cut Him lelaki kurus jangkung, miskin, intelek dan bergaya hidup bohemian namun atheis.
Di sebuah negara sekuler seumpama Amerika dan negara-negara di Eropa, manusia tanpa Tuhan dan komunitas tanpa agama mudah ditemui di mana-mana. Tetapi di Indonesia sebagai negara yang setiap warga adalah punya latar belakang ketaatan budaya terhadap ritual transedensi, apalagi di Aceh dengan sejarah keislaman yang ketat dan bahkan sekarang telah berlaku pula hukum syariat, tidak mudah mempercayai ada warga dengan segenap kesadaran, keyakinan, kepercayaan dan intelektualitasnya mengimani bahwa Tuhan tidak ada.
“Tapi percaya atau tidak,” kata Nyak Do, “teman saya yang satu itu memang benar-benar tidak mengakui adanya Tuhan, begitu juga beberapa temannya yang lain. Secara kasat mata mereka tidak tampak. Lagi pun mereka tidak punya misi untuk mempengaruhi orang lain agar tidak mengakui Tuhan. Mereka cuma meyakini itu karena semata-mata hasil perjalanan entelektual pribadi atau hasil pertemanan akrab dengan teman-teman yang sudah lebih dulu tidak bertuhan.”
“Saya tidak mengakui adanya Tuhan,” jawab Cut Him menjawab pertanyaan Nyak Do. Tapi pernyataan seperti itu tak mudah diungkapkan Cut Him kepada sembarang orang, kecuali kepada teman akrab yang sudah mengerti dia seutuhnya, teman yang sudah mengerti persis perjalanan intelektualitasnya.
“Maukah engkau kubawa ke suatu tempat yang di sana Tuhan dapat kau tatap seterang menatap telapak tanganmu sendiri?” tanya Nyak Do. Dan Cut Him menjawab, “Tidak.” Lalu sekali lagi Nyak Do bertanya, “Maukah engkau kubawa ke suatu tempat di mana nantinya di sana Tuhan dapat kau lihat seterang melihat wajahmu di seberang cermin?” Dan terakhir, karena penasaran Cut Him menjawab, “Ya, saya mau.”
Segera Nyak Do meraih lengan Cut Him dan menggiringnya ke luar dari gedung tempat mereka duduk. Di halaman gedung yang benderang di bawah langit sore, Nyak Do menyuruh temannya itu menengadah ke atas, lalu bertanya, “Apa yang kau lihat di sana?” Lalu Cut Him menjawab, “Langit.” Lantas Nyak Do bertanya lagi, “Menurutmu, apakah langit itu ada?”
“Tidak.”
“Lantas apa pula yang terlihat di sana?”
“Di atas sana hanya ada ruang hampa. Dan yang tertangkap oleh kita hanyalah batas kemampun pandang mata manusia. Kita menamakannya langit. Ya, setahuku cuma itu,” jawab Cut Him.
“Di sana yang ada hanya ruang hampa,” ulang Nyak Do. “Sedangkan yang terlihat oleh kita hanyalah batas kemampuan pandang mata manusia. Orang menamakannya langit. Jadi langit itu adalah sesuatu yang tidak ada, bukan? Tapi jelas kita dapat melihatnya, ya-tidak?” tambah Nyak Do.
“Ya,” jawab Cut Him.
“Nah, begitulah batas penalaran manusia dalam menjangkau Rab. Tuhan itu ada. Tapi yang mampu kita lihat dan nalar hanyalah sebatas kehidupan, alam dan fenomena-fenomena semesta.”
“Sekali lagi,” sambung Nyak Do. “Ruang hampa itu ada, dia tak terhingga, tapi mata manusia telah menciptakan langit sebagai batas kemampuan pandang, padahal yang sesungguhnya langit itu samasekali tidak ada. Semakin kita naik ke atas, langit akan selalu menjauh menuju ke atasnya lagi, begitu seterusnya. Jadi, yang ada hanya ruang hampa.”
“Begitu juga dengan Tuhan,” tambah Nyak Do. “Tuhan itu ada, kemahaanNya tak terhingga, tapi manusia hanya tersekat pada kehidupan dengan berbagai problemanya dan alam semesta dengan berbagai fenomenanya sebagai batas kempuan daya pandang dan daya nalar, padahal yang sesungguhnya kehidupan dan semesta ini samasekali bagai langit, terasa dan terlihat namun wujudnya samasekali nihil. Yang ada hanya Tuhan.”
Mendengar representasi Nyak Do tentang Tuhan, seketika membuat Cut Him terkesima dan kelopak matanya terkatup meredup pelan-pelan. Dia seperti orang yang sedang menghayati sesuatu dengan penuh kontemplasi. Namun sejurus kemudian sesuatu yang aneh terjadi. Tubuh Cut Him lambat laun berubah bagai benda transparan, bagai sebuah tubuh dari kaca yang tembus pandang.
Nyak Do menatap temannya itu dengan terkesiap, antara takut dan heran. Tapi sejurus kemudian, Cut Him yang tadi tegak di depannya, pelan-pelan mengabur, bagai melebur, bagai membayang, seperti wujud atmosfir udara yang bisa ditatap di atas hamparan sawah, mengabur, membayang dan lalu lenyap samasekali. Cut Him benar-benar telah lenyap di depan matanya.
Tanpa berpikir panjang, Nyak Do berlari ke rumah Teungku Chik, seorang alim ulama di desanya. Kepada orang bijak ini ia bercerita tentang apa yang baru saja terjadi lengkap dengan latarbelakangnya. Mendengar itu Teungku Chik pun terpana, bagai menerawang jauh sekali. Setelah suasana menganga seperti ini terjadi sangat lama, baru kemudian Teungku Chik berkata.
“Ketahuilah wahai Nyak Do. Disebabkan weyangan darimu tentang keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka Cut Him yang dulunya Atheis tidak percaya adanya Tuhan, tiba-tiba menjadi beriman kepada Tuhan dan pada saat itu juga tingkat keberimanannya menjadi luar biasa sehingga dia terengkuh sepenuhnya dalam kefanaan.”
“Dia tak perlu kau cari lagi,” sambung Teungku Chik. “Cut Him telah fana. Dia telah menyatu dengan Tuhan yang diyakininya dengan sangat tiba-tiba dan mendalam. Kalau dalam istilah orang Jawa itu disebut muksa. Subhanallah, subhanallah, subhanallah, itu rahmat tertinggi dari Allah Azza Wa Jalla kepada hambaNya. Dan Cut Him telah mendapatkan itu, subhanallah…”[]