GELAR merupakan sebutan kehormatan, kebangsawanan, atau kesarjanaan yang biasa ditambahkan pada nama seseorang. Ada berbagai macam gelar seperti teungku, teuku, haji, doktor, sarjana pendidikan, sarjana sosial, dan banyak lainnya.
Di negeri kita tercinta ini bila seseorang yang mempunyai gelar merupakan suatu kebanggaan, mempunyai gelar adalah segala-galanya. Di zaman sekarang ini gelar kesarjanaan adalah yang paling dicari, walaupun ilmu yang ia miliki tidak sesuai dengan keilmuan yang ia miliki. Bahkan, gelar itu sanggup ditukar dengan uang, yang penting gelar itu didapatkan.
Dengan gelar juga seseorang akan menjadi angkuh. Pernah seorang dosen yang bergelar doktor mengajar di suatu universitas di tingkat S1 (strata satu). Ketika mengajar, beliau pernah mengatakan pada mahasiswa, “saya ini bergelar doktor, seharusnya saya mengajar di S2, jadi sebenarnya saya tidak pantas mengajar di sini.”
Mengapa gelar begitu diagung-agungkan? Apakah gelar menjadi kebanggaan semua orang di belahan dunia ini?
Dulu, ketika aku mondok di pesantren modern, ada seorang guru yang begitu saya kagumi dan juga dikagumi oleh semua teman-temanku pada masa itu. Namanya masih kuingat yaitu Ibnu Rusydi, seperti nama seorang ilmuan Islam yang ternama, Ibnu Rusyd. Beliau pada masa itu mengajar pelajaran Quran-Hadist. Kami menyukainya karena cara mengajar beliau yang tidak monoton dan selalu menghubungkan ayat-ayat Al Quran dengan penemuan dan teknologi sekarang.
Waktu perkenalan pertama, ketika beliau pertama kali mengajar, beliau mengenalkan nama dan menuliskan di papan tulis tanpa dibubuhi gelar sedikit pun. Kami berpikir, mungkin ustazd ini memang tidak ada gelar.
Namun, suatu hari ketika beliau sedang menjelaskan pelajaran tentang nikmatnya beribadah tiba-tiba beliau menceritakan pengalaman pribadi sewaktu naik haji dan pengalaman ketika belajar di Al Azhar, Kairo. Waah, kami langsung terkejut, ternyata ustazd ini sudah naik haji dan pernah menuntut ilmu di Al Azhar. Sebelumnya kami tidak tahu karena seharusnya gelar haji dan Lc mengiringi namanya. Tapi kami belum pernah melihat nama beliau dihiasi dengan dua gelar tersebut.
Lalu salah seorang kawan bertanya “Ustazd, ternyata ustazd sudah pernah naik haji dan alumni Al Azhar. Tapi kenapa ustadz tidak pernah mencamtumkan gelar di nama ustadz?”
Sang ustazd tersenyum mendengar pertanyaan muridnya, sedangkan kami merasa heran. Lalu sang ustazd menjawab, “wahai anak-anakku, saya melihat orang-orang di luar tidak gemar meletakkan gelar di namanya. Saya melihat orang-orang di Pakistan, India, dan orang-orang di Arab, mereka berkali-kali naik haji bahkan puluhan kali, namun mereka tidak memamerkan diri bahwa mereka sudah naik haji, juga tidak meletakkan gelar kehajiannya di namanya. Nak, asal kalian tahu, yang suka mencantumkan gelar itu hanya orang-orang di Asia Tenggara.”
Kami terdiam, hal ini belum pernah dikatakan oleh guru sebelumnya. Ternyata hanya orang-orang kita yang suka dengan gelar. Memang tidak salah apa yang dikatakan ustazd, sering kita melihat di sekitar kita orang-orang begitu suka memamerkan gelar. Bahkan, seseorang akan marah jika kita menuliskan namanya tanpa gelar yang sudah ia dapat. Hufff, hanya orang-orang Asia Tenggara yang suka dengan gelar.[]
Yaya. Mantap, Fiz.
Setuju dg Ustadz Ibnu Rusydi
,,,Ya,,,,,tapi Ustadz Ibnu Rusydi cma mengajar sbntar,,,,rindu ma ustad tersebut….entah dimana beliau skarang,,,,