GILA Aceh hari ini bukan lagi gila perang, bukan lagi gila kesumat dendam, bukan lagi gila agama walaupun seumbahyang-tan, bukan lagi gila citra walaupun moral-tan, bukan lagi gila prestise walaupun peng-tan. Itu sudah ketinggalan zaman, Tuan. Kami tahu itu; tahu persis. Tapi gila kami hari ini adalah gila penelitian.
Tapi di kami memang belum ada yang “segila” orang Jepang yang bahkan tingkat frekuensi suara klakson mobil rata-rata per menit di jalanan pinggiran Tokyo, pun diteliti dengan duduk berhari-hari di pinggir aspal bagai pengemis. Dan yang melakukan itu adalah profesor, yang dalam kesehariannya, jangankan mahasiswa, perdana menteri saja hormat padanya.
Alkisah, kemarin itu, kemarinnya lagi dan kemarin-kemarin yang tak lagi terhitung, api produk Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhenti menyuplai setrum ke wilayah-wilayah perkotaan di negeri kami. Penyebabnya tak diketahui. Tak ada maklumat sebelumnya dari perusahaan pemilik otoritas hak monopoli produk api-kawat seluruh kerajaan itu. Akibatnya, semua aktivitas warga berbasis elektrikal, dari usaha produktif hingga penikmatan halua geulinyueng dalam wujud penghiburan diri lewat musik tape recorder, terhenti.
Tapi kami para pelaku bisnis tipe pedagang di Pusat Perbelanjaan Kota, tak mungkin menolerir usaha kami didikte seenaknya oleh hasil produk sesuka-suka listrik negara. Siang adalah puncak keramaian transaksi bagi kami. Bila dalam tiga jam itu suasana toko gelap dan etalase barang tanpa pernak-pernik cahaya hingga pembeli gagal mengajak transaksi, rasanya seharian ini kami rugi disabet sang pedang “the time is money”.
Lantas kami pun menghidupkan genset. Praktis, akibat PLN suka ngadat bertahun-tahun, kami para pemilik toko (umumnya toko kain dan pakaian) di sini memiliki genset masing-masing. Lalu apa yang terjadi? Lebih tiga puluh unit genset menderu dalam waktu bersamaan di lokasi pergedungan Pusat Perbelanjaan Kota, yang luasnya sekira 250 meter per segi dengan dekorasi interior beratap, di mana sistem ventilasi udara horizontal hanya mengandalkan los-los pasar yang juga nyaris tertutup berjuntai-juntai gantungan barang dan pakaian dagangan.
Lantas, dalam ruang nyaris tertutup dengan endapan gas buangan knalpot puluhan genset yang ditandai oleh bau yang sangat menyengat itu, berapa kandungan karbon monoksida (CO) yang menyusup dalam sekali hirupan nafas bagi para pengunjung pasar dan berapa kandungan karbon monoksida menyusup dalam sekali hirupan nafas bagi kami para pedagangnya selama tiga jam itu?
Seperti diketahui, karbon monoksida produk knalpot kendaraan dan mesin genset adalah sangat berbahaya bagi kesehatan. Bila rata-rata dalam sebulan PLN “berhasil” menghentikan setrum ke lokasi Pusat Perbelanjaan Kota selama sepuluh jam, berapa milligram emisi CO menghantam paru-paru dan saraf pengunjung dan kami di lokasi ini?
Orang bilang, itu layak dibuat penelitian. Tapi di Aceh hari ini memang belum ada yang “segila” orang Australia yang beurijuek toh boh pun diteliti. Kita, ganja saja yang produk-bermasalah asli dalam negeri, sampai hari ini belum kita teliti berapa miligram kandungan zat penenang yang dibutuhkan setiap orang Aceh per hari hingga jangan sampai membuat kami terhalusinasi sampai berabad-abad lamanya begini.
Gila kami hari ini memang hendaknya bukan lagi gila perang, bukan lagi gila agama walaupun seumbahyang-tan, bukan lagi gila citra walaupun moral-tan, bukan lagi gila prestise walaupun peng-tan. Karena itu sudah ketinggalan zaman. Gila kami hari ini adalah gila ilmu pengetahuan. Dan itu akan kami buktikan![]