Guruku

GURUKU, seorang guru sufi di India Utara, mengajarkan jihad pada murid-muridnya. Umumnya mereka remaja berumur 10-14 tahun. Jihad, bagi guruku, berarti Koshish dalam bahasa Urdu. To strive, to struggle. Sama sekali bukan to fight.

“Jihad berarti berupaya sunggguh sungguh. Jihad bukan berantam, bertempur, atau berkelahi, mencaci-maki, apalagi membunuh. Jihad bekerja keras dan berupaya sungguh sungguh memperbaiki diri sendiri, kalau bisa orang lain, dengan perbuatan baik,” karta guruku.

Banyak muridnya tamat dan pulang ke kampungnya. Namun, sebagian besar ingin tinggal bersama guruku. “Aku ingin lebih dekat denganmu, Guru!” ujar mereka. “Kau sudah dekat dengan Allah. Tugasku selesai sudah. Dengar nak, aku pun, hingga saat ini masih ber-jihad untuk menjadi seorang Muslim. Aku pun masih menunggu fatwa-Nya apakah aku diterima sebagai Muslim atau tidak.”

Para murid berdoa untuk “kesempurnaan” guruku. Tapi sebagian lain menolak. “Tidak, beliau tidak membutuhkan doa kita. Kitalah yang membutuhkan doa beliau!”

Sebelum muridnya pulang, biasanya guruku akan memberi nasihat. “Janganlah kalian membingungkan teman-teman yang belum siap untuk pelajaran ini. Mereka yang belum siap dengan materi yang kalian dapatkan di sini. Kalau perlu, kalian harus “turun” dengan bahasa umum, menjelaskan makna hidup dan cara berjiwa manusia dalam tubuh manusia,” katanya. Itu pun bila bisa diterima. Bila tidak, jadilah dirimu sendiri dan berjihad dalam lingkunganmu sendiri, atau bahkan dalam keluargamu saja.

Memang ada ungkapan umum, yang mengingatkan agar tidak melempar mutiara kepada kawanan monyet. Tapi, lemparlah pisang, karena monyet tidak tahu nilai mutiara. Ia akan memakannya, tersedak, dan tidak dapat benapas. Ia gusar dan akan berbalik mencakarmu.

“Berikan mutiara kepada mereka yang mengerti nilai mutiara. Kepada mereka yang mengapresiasinya. Kepada mereka yang akan menghargainya. Seorang yang memiliki pengetahuan dan tidak berbagi dengan orang lain yang siap untuk menerimanya adalah seorang kikir, pelit. Berbagilah dengan mereka yang siap.”

“Jagalah tali persahabatan dengan sesama manusia….. ya, dengan mereka yang berjiwa manusia, bukan berbadan manusia saja……” Beliau selalu menasihati kita untuk menjauhi mereka yang hanya berbadan manusia. Tidak perlu membenci mereka, hanya menjauhi saja. “Karena kehewanian mereka bagaikan penyakit menular. Nanti, pada suatu ketika, jika kau sudah memiliki kemampuan untuk mengobati mereka, silakan mendekati mereka…. Tetapi, jangan dulu, jangan sekarang…. Kemampuan seperti itu belum ada dalam diri kita.” Tidak, bukan sekarang…hingga zaman yang menentukan. Toh guruku dan para muridnya hanya seorang manusia.

Ada yang lebih berkuasa, yang menentukan nasib bumi dan peradaban manusia. Bila memang ras manusia ini diciptakan dalam kemuliaan, maka peradabannya akan baik. Bila tidak, tanah lempung ya tanah lempung jua. Manusia yang berjasad tanah dan berjiwa pula seperti tanah yang kotor. Guruku, adalah buah manis dari kumpulan saripati tanah, yang terbentuk dari perjalanan waktu sebatang pohon dan daun tanpa jiwa. Guruku, jiwa dan ruh bijaksana, buah ranum dari pohon dan ribuan daun yang tak berjiwa..

Semua ada hanya alasan untuk sebuah buah ranum yang manis. Matahari bersinar dengan miliar laksa kilovolts, hanya untuk kehidupan di bumi. Planet lain, Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Neptunus, Uranus, Saturnus  kosong melompong. Itulah alasan keberadaan kisah perputaran semesta. Hanya untuk sebuah buah ranum. Itu saja. Kita hanya daun, atau bahkan debu sahaja.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.