Mulanya Kak Bungsu memasak kuah pliek u tak berniat membagi-bagikannya ke tetangga sekadar menyambung silaturrahmi, tak seperti era 90-an yang selalu mengantar sesuatu masakan ke pintu-pintu rumah tetangga.
Namun hingga 24 jam setelah dimasak atau telah lewat rotasi makan tiga kali, kuah pliek u yang dimasaknya satu kuali sedang, masih tersisa dua panci kecil. Ibu rumah tangga itu hanya berempat di rumah, bersama suami dan dua anaknya: satu Sonia, satu lagi baru diberitahukan dokter bahwa akan melahirkan minggu depan.
Karena merasa pasti tak akan habis lagi, Kak Bungsu berencana menyerahkan satu panci kuah pliek u pada tetangga, dari seharusnya dihidangkan untuk saudara jauh yang berjanji akan datang pada hari dimasak kuah itu.
Maka datanglah ia ke rumah terdekat. Mengetuk-ngetuk pintu berkali-kali. Namun tak ada yang membuka. Ia kemudian ke empat rumah lagi. Dan mendapati hal yang sama. Akhirnya ia pulang dan menjadikan kuah pliek itu sebagai teman pakan bebeknya.
“Kami sengaja berdiam diri dan tak membukanya, karena Kak Bungsu orangnya begitu. Kalau sudah tak habis, baru dikasih ke kami,” aku si tetangga pada Je suatu hari. O, begitu rupanya. “Iya, benar-benar orang Pidie Kak Bungsu itu,” cap si tetangga.
Awal November 2011, orangtua Aya panen rambutan, yang tumbuh di halaman rumah. Satu rambutan binjai, satu lagi rambot mona (rambutan thailand). Ayah Aya akan memetik rambutan ketika anak-anak di sekitar rumahnya tak ada. Biasanya pagi, ketika anak-anak ke sekolah. Selalu begitu. Agar bocah-bocah tak merengek di bawah, meminta rambutannya.
Dan pagi itu, setelah memetik sekitar sekarung beras 50 kilo gram, si ayah langsung menjualnya di depan rumah, di jalan yang dibangun masyarakat gampong itu dengan dana dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Sang ayah tak dulu membagikannya ke tetangga atau saudara. Dengan menggelar meja papan—bekas meja makan, si ayah menjaja berikat-ikat rambutan. Mulai dari Rp5 ribu hingga Rp20 ribu. Jalan itu dekat dengan jalan nasional, yang setiap detik “nga ngu nga ngu” kendaraan lewat.
Namun, dua jam usai menggelar dagangan, baru laku tiga ikat dengan masukan Rp15 ribu yang cukup untuk setumpuk ungkot sure (ikan tongkol), hujan turun. Guyurannya tak reda hingga jam 6 sore. Ah, si ayah hanya geleng-geleng kepala.
Keesokannya, ayah Aya mendapati rambutan binjai kemarin telah tak lagi indah dipandang. Rambutnya melayu. Warnanya sudah merah kehitaman. Sebagian sudah mengeluarkan lendir. Sementara rambot mona, hanya layu rambutnya.
Tak mau rugi, si ayah tetap menjual lagi, namun hanya yang mona saja. Ditambah beberapa ikat rambutan binjai yang dipetik lagi pagi itu. Sedang rambutan binjai yang dipetik kemarin di mana sudah tak enak lagi dilihat—apalagi dimakan, ia bagi-bagikan ke tetangga sekitar dan orang-orang yang lewat depan rumahnya. Ia menganggap itu sedekah!
Namun, sebagian orang yang menerimanya, terutama ibu-ibu, selalu berkomentar, “eu, ata han lagot le jok keu gop (punya tak laku lagi baru kasih ke orang).” Komentar itu keluar sembari diterima, meskipun nanti membuangnya. Sama-sama tak ikhlas. Akhirnya menambah konflik batin.
Kiranya begitulah karakter sebagian orang Aceh. Memberikan sesuatu pada orang lain ketika ia tak bisa atau tak sanggup lagi memanfaatkannya. Dengan kata lain, memberi bukan diniatkan sejak awal, tetapi ketika ia dalam kondisi tertekan, kala sesuatu itu tinggal keurimeh (remah)-nya saja. Kalau nasi, yang hampir basi.*
*Cang Panah ini dimuat lagi karena ada yang terpotong pada pemuatan sebelumnya.