Di sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang raja yang lalim. Ia memerintah dengan tangan besi. Maka disebut dia pemegang hukum besi. Walaupun begitu, pengikut setianya banyak saat itu. Entah kesetiaan berlapis kepalsuan.
Suatu hari, sang raja ditumbangkan oleh kekuatan rakyat melalui aksi demonstrasi ke istana sultan. Demonstrasi itu berjalan berminggu-minggu. Raja yang melakukan perjalan muhibbah ke negara jiran terpaksa pulang mendadak bak disundut api.
Aksi-aksi itu kian membesar dan meluas di seluruh kota besar. Rakyat yang dipimpin cendekekiawan Rois Am menuntut sang raja mundur dari kekuasannya. Atas mufakat dan sidang kabinet kerajaan, baginda raja akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada perdana menteri berjulukan Sang Kekasih.
Tiga bulan sejak penyerahan kekuasaan itu, sang mantan raja mulai sakit-sakitan. Suatu hari ia diopname di rumah sakit Pertamanan. Wajahnya pucat. Tapi anehnya, pantatnya yang dahulu putih tiba-tiba menjadi hitam seperti kulit keling India.
Pada saat pemeriksaan kesehatan, tabib mengecek kesehatan raja. Dia melihat kondisi wajah baginda raja yang putih pucat. Kian banyak rambut raja yang putih. Hatta bulu kakinya sekalipun. Tapi ketika tabib membalik tubuh baginda yang terkulai lemah itu, tabib terkejut sekali.
“Daulat baginda raja mulia, kenapa pantat baginda menjadi hitam begini? Luar biasa hitamnya. Lebih hitam dari arang,” tanya tabib terkejut.
“Beginilah nasibku tabib. Dahulu pantatku putih bersih sekali.”
“Kenapa bisa, Baginda?”
“Kau tahu sendirilah, tabib… Dahalu bisa begitu putih berseri bak wajah dewi karena banyak yang menjilad pantatku. Sejak aku lengser keparobon, tak ada lagi yang menjilatnya sehingga menjadi hitam begini. Sedih sekali aku…”
Air mata menetes di pipi baginda.
“Kenapa tidak Baginda titahkan mereka untuk kembali menjilat pantat Baginda?” tanya tabib agak heran.
“Sekarang mereka menjilad pantat perdana menteriku. Oh, lebih sakit kini tubuhku. Mungkin ajal akan menjemputku tak lama lagi…”
“Hantu belau mereka. Dahulu ketika Baginda senang, punya kuasa, mereka mau menjilat pantat Baginda. Sekarang bagaimana Baginda? Apa perlu hamba jilat? Asalkan bayarannya cocok saja baginda? He he…”
Sang Tabib coba ambil muka pada baginda yang terbaring lemah. Ia tahu uang baginda bisa menghidupi tujuh puluh generasi anak cucu dan cicit. Yah, lebih kaya dari Qarun.
“Ah, hantu belau kau tabib! Oh sakitku ini… jangan biarkan pantatku hitam, Tabib… apakah masih ada yang mau menjilat pantatku supaya bisa sembuh dari penyakit ini tabib? Mudah-mudahan belum terlambat tabib. Coba carikan beberapa orang saja…”
“Benar-benar hantu belau mereka. Habis manis sepah dibuang. Tak ada lagi yang mau Baginda, karena mereka sudah berkiblat kepada sang perdana menteri dan lagi ramai-ramai menjilat pantat perdana menteri.
“Wah, benar-benar hantu belau mereka…” napas raja kian tersengal, wajahnya memucat, lalu kesadarannya pun hilang.
Ah, hantu belau kau![]