AMANRUF benar-benar iri pada temannya sesama wartawan. Temannya itu menurut Amanruf semakin terkenal karena berani menulis secara kritis.
Apalagi setelah temannya itu dihubungi banyak pejabat, makin bertambah-tambahlah cemburuAmanruf. Maka hari ini ia pun mencoba peruntungan yang sama, menulis kritis untuk Ketua Gampong perihal demo di Balai Gampong kemarin.
Setelah beritanya naik, pagi-pagi benar ia datang pada Pak Cek. Ia ingin pamer bahwa dirinya akan dihubungi pejabat. Itulah impiannya akhir-akhir ini. Paling tidak Pak Cek akan menganggap ia termasuk orang hebat.“Lihatlah Pak Cek, sebentar lagi aku akan dihubungi pejabat terkemuka di gampong kita.”
“Kenapa kau merasa sangat yakin?” Tanya Pak Cek cuek, ia sibuk dengan motor-motor langganannya.
Belum sempat Amanruf menjawab, ponselnya pun berdering. “Benarkan kataku, ini dari Ketua Gampong,” kata Amanruf antusias, ia pun langsung membetulkan posisi duduknya seakan akan menerima telepon dari partner bisnis. Tak tanggung-tanggung ia bahkan mengaktifkan speakerphone dengan suara meraung-raung. Eksklusif sangatlah.
“Halo, pak, apa kabar?” Amanruf sumringah, jelas sekali dari air mukanya bahwa ia benar-benar merasa bangga. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, tiba-tiba wajahnya memerah lagee boh jangtong pisang hangoh.
Suara dari seberang terdengar nyaring. Habislah Amanruf dimaki Ketua Gampong. Sungguh baru kali ini aku dengar Ketua Gampong kami yang lugu itu berang, pasti Amanruf telah melakukan kesalahan yang sangat besar.
“Bagaimana mungkin kau berani menulis berita yang tak cover both side (berimbang) begitu,” murka Ketua Gampong.
“Pak Cek, ambil ini, Pak Cek saja yang bicara.” Pak Cek yang tak tahu menahu dipaksa menerima ponsel butut Amanruf.
“Halo.. halo.. Apa kau bilang?” sapa Pak Cek bingung, sedang Ketua Gampong terus berkoar-koar.
“Kau tahu tak, beritamu tak berimbang, penuh spekulasi dan mengandung fitnah.”
Ketua gampong terus memaki-maki dari seberang. Dimaki Ketua Gampong, Pak Cek yang terkenal temperamen pun naik spaning. “Eh kepiting batu, apa pasal kau maki-maki aku, kau tahu tak, aku sedang banyak kerjaan, tak sempat mengurusi urusanmu.”
“O… Kau jangan lepas tanggung jawab setelah menulis berita yang tak berimbang itu.”
“Apanya yang tak berimbang, sudah bertahun-tahun aku jadi montir selalu pas kupasang baut, tak ada yang seunget. Kalau memang motormu seunget, bawa kemari biar kuperbaiki. Bila perlu gigi kau sekalian kubaut juga. Jangan asal main maki.”
Rupanya suara Pak Cek lebih dahsyat dari suara di seberang.
“Halo, ini siapa, ini Amanruf?”
“Amanruf ka cot gateh u langet jiplueng, ini Pak Cek Salman.”
“O, maaf Pak Cek, saya kira Amanruf. Wah saya jadi tak enak, kalau begitu sebagai permintaan maaf, siang ini Pak Cek saya undang makan siang.” Manakala mendengar makan siang gratis, amanlah kepala Pak Cek.
Tak lama Amanruf kembali sambil ngendap-ngendap seakan lagi main pet-pet alias petak umpet dengan Ketua Gampong.
“Mana Pak Cek, Ketua Gampong bilang apa,” tanya si wartawan berambut gondrong dan kusut itu.
“Tak tahulah, yang jelas Pak Cek diajak makan siang oleh Ketua Gampong,” jawabku sekenanya.
“Aduh, sial sangat aku, harusnya aku tak berikan Hp pada Pak Cek. Yang sebenarnya ingin diajak itu aku, bukan Pak Cek. Ah seandainya aku tak memberi Hp pada Pak Cek, pasti aku sudah duduk semeja dengan Ketua Gampong siang ini,” keluh Amanruf penuh penyesalan, seakan baru melepaskan lotre berhadiah ratusan juta.
“Terpaksalah aku harus membuat berita yang lebih kritis lagi untuk Ketua Gampong, mudah-mudahan aku mendapat fasilitas yang lebih keren dibandingkan Pak Cek,” gumamnya. Ia sama sekali tak tahu kalau itu tak akan pernah terjadi.
“Ah, Pak Cek, kenapa kesempatan makan siang itu jatuh ke tangannya, seharusnya itu jatahku.”[]