AMANRUF sibuk mencari profil home industri yang ada di gampong kami. Ia hilir mudik di depan Pak Cek. Sesekali ia menggaruk-garuk kepalanya. Sungguh ia buat Pak Cek jadi pusing.
“Tak bisakah kau duduk tenang, Amanruf, aku pening melihat kau mondar-mandir seperti itu, macam gosoan butut saja kau.”
“Aduh, Pak Cek, aku benar-benar bingung, aku di suruh membuat liputan tentang home industri oleh bos redaksiku.”
“Jenis makanan apa pula itu Ruf?”
“Itu bukan jenis makanan lah Pak Cek. Home industri itu adalah perusahaan rumah tangga, usaha yang dikelola oleh keluarga, misal, bosnya itu suaminya, yang punya saham istrinya, manejer anaknya, lalu karyawan lainnya sepupu-sepupunya, paling hanya beberapa saja yang orang lain, itu pun sering gonta-ganti. Maklum gak tahan dimaki beramai-ramai”“Oh kalau usaha jenis seperti itu ada di gampong kita, itu perusahaan si Lan Smit.”
“Lan Smit kan buat tabloid, itu kan perusahaan pers?”
“Tapi yang mengelolanya kan keluarganya juga, ya berarti itu juga termasuk home industri kan?”
Amanruf manggut-manggut mendengar komentar Pak Cek, mungkin yang dikatakan Pak Cek ada benarnya, daripada tak dapat berita sama sekali, home industri model begitu pun jadi. “Tak ada rotan, akar pun jadi, hayo kita cow….!”
Aku pun ikut Amanruf ke rumah produksi Lan Smit yang berlantai enam itu. Rumahnya tak jauh dari sini hanya beberapa meter saja, pokoknya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Rumahnya itu disulap menjadi kantor, ia kelihatan sibuk sekali hari itu. Sesekali ia memaki sepupunya yang lelet “menggoreng” berita.
“Ini mau deadline (batas akhir pengolahan berita), kita harus segera menyelesaikan tablod hari ini.”
Istri Lan Smit pun sibuk dengan kalkulatornya. Lagi-lagi ia geleng-geleng kepala.
“Macam mana kalian ini buat berita, pasar kita anjlok, sudah sebulan tabloid kita baru laku sepuluh, lama-lama bisa gulung tikar kita ni.”
“Ni liat, hanya pejabat-pejabat yang kita teror saja yang beli tabloid kita,” bentak istri Lan Smith dengan wajah begitu ketat macam sempak baru.
“Kalau mau laku banyak, ya harus banyak pula pejabat yang kita teror lah kak, mau oplah seribu, maka seribu pejabat pula yang harus kita terror, bila perlu petani, nelayan dan mugee pisang juga, biar mereka semua beli” celoteh sepupunya.
Amanruf sepertinya tak terlalu peduli dengan kesibukan dan dialog-dialog licik Lan Smit dan seluruh keluarga besarnya yang disulap karyawan itu.
“… dan satu lagi, ia bukan hanya pengusaha tabloid “teror”, tapi ia sekarang sudah memposisikan diri sebagai “dewan pemantau” arus berita di kampong kita, meski hanya dia sendiri yang mengakuinya…”
“Hai Lan Smit, bisa aku wawancara sebentar.” Kata Amanruf tanpa etika. Lan Smit acuh saja, ia tak sempat meladani Amanuruf.
“Aku lagi sibuk, cari orang lain saja.”
“Aku akan mengangkat profilmu, apa kau tak setuju, ini akan membantu promosi home industri-mu?”
“Home industri katamu? Home industri yang mana?”
“Ini, kan usaha penerbitan keluargamu?”
“Home indusri kepalamu” Lan Smith marah besar, tangannya meraba-raba sebuah benda yang menonjol di pinggangnya, entah apa gerangan benda itu.
Tanpa ba-bi-bu, Amanruf kabur tunggang langgang dari redaksi tabloid mingguan itu. Lenganku pun hampir putus ditariknya.
“Hei rambut jelek, asal kau tahu ya, ini bukan home industri, ini sebuah perusahaan penerbitan mingguan lokal yang sangat idealis di gampong ini. Jangan kamu samakan seperti Koran Hantom Salah-mu yang tedensius, tidak cover both side dan… mu itu..!”
Itulah raungan terakhir Lan Smith yang sempat nangkring di telinga kami. “Hei Amanruf, kok kita mendorong astute ini” kataku terengah-engah. “Sorry coy, aku lupa mengengkolnya…!”[]