Hukum

Apa Maun Gampong Lon, suatu hari menjadi tukang cerita di sebuah kampung terindah tapi masih tak bernama. Apa Maun berkisah di pasar malam. Ia meriwayatkan, dulu, di sebuah kerajaan kecil berbentuk provinsi ada perdebatan kecil tentang sebuah produk hukum.

Produk hukum itu dilahirkan oleh dewan yang tugasnya segera berakhir tapi tak jelas apa hasilnya. Mereka ingin menutupi kesalahannya yang begitu banyak, juga untuk balas dendam karena tak dipilih lagi oleh rakyat. produk hukum itu untuk mengalihkan isu kejahatan politik mereka. Produk hukum itu juga untuk mencemarkan hukum agama pada orang luar, karena nantinya kalaupun jadi, produk hukum itu tidak akan dipraktikkan.

Di masa silam itu, reaksi rakyat bermacam. Rakyat yang tidak mengerti mengapa produk hukum itu dibuat mendukungnya. Namun rakyat yang cerdas dan tahu cara beragama yang benar menolak produk hukum itu, karena walaupun jadi tidak akan dipraktikkan. Mungkin hanya dipraktikkan untuk rakyat kecil yang tak sanggup membayar dendanya. Juga itu tak mungkin dilakukan bagi oknum pejabat dan aparat di negeri itu kalau kebetulan melanggar.

“Ah Apa Maun, kau jangan menipu, mana ada orang yang mempermainkan hukum agama hanya untuk tameng politik menutupi kesalahannya,” sergah Apa Main.

“Maun, jangankan hukumnya, agama sendiri bisa mereka permainkan, karena mereka kaum munafik yang berpura baik pada rakyat kita,” kata Apa Maun.

“Walau begitu, kita tetap tak boleh beranggapan buruk pada orang. Eh, tapi benar juga ya, kan mereka mempermainkan hukum agama kita, masak hukum agama yang suci dijadikan aturan pemerintah yang tidak jelas dari mana anggarannya itu,”  kata Apa Main. “Maun, lalu bagaimana lanjutan cerita di masa silam itu?”

“Nah, saat pro-kontra masih berkobar, gubernur di sana menolak meneken produk hukum yang dibuat sebagai balas dendam itu,” kata Apa Maun.

“Hmm, gubernur yang cerdas, ia tak bisa ditipu oleh para pengacau umat,” Apa Main manggut-manggut.

“Bukan hanya itu,” lanjut Apa Maun, “Para ulama di masa silam pun menolak hukum itu karena dibuat bukan karena Allah, juga para pembesar tentara dan polisi di provinsi pun berang karena mereka merasa akan diatur-atur oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang pemerintahan dan agama.”

“Lalu bagaimana rakyat yang tadinya tertipu sampai tak menolaknya?” tanya Apa Main.

“Akhirnya rakyat sadar bahwa mereka sedang dipermainkan oleh pengacau politik yang memanfaatkan isu keagamaan untuk menutupi keburukannya,” kata Apa Maun.

“Lalu apa sikap anggota dewan baru di masa silam itu?” tanya Apa Main.

“Anggota dewan baru yang cerdas itu membatalkan produk hukum cuci tangan para pembual sebelum mereka. Ya, produk hukum itu pun dibatalkan.”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.