Ramai diberitakan dalam beberapa hari ini ada oknum yang melakukan pelanggaran hukum, menjual identitas wartawan agar mendapat keringanan. Padahal, pelanggaran yang dilakukan tergolong nista dan sangat melanggar ketaatan hukum seperti mencuri celeng mesjid dan bahkan mencuri barang pasien di rumah sakit.
Oknum yang mengaku wartawan tersebut, semuanya berasal dari media mingguan terbitan di kota Medan. Anehnya, mereka beroperasi di Aceh dan mencemarkan nama baik profesionalitas wartawan-wartawan di Aceh yang sangat taat hukum tersebut. Maraknya pencatutan profesi dan menunjukkan “ID keramat” ini jelas membuat gerah para pelaku media dan masyarakat yang mulai sadar arti pentingnya media dalam menjaga pemerintahan yang bersih dan keamanan masyarakat secara umum saat sekarang.
Pencatutan profesi yang dilakukan oleh para maling-maling tersebut, jelas-jelas mencoreng wajah dari lembaga dan orang-orang yang berprofesi sebagai wartawan. Harus ada perhatian penuh dari para pihak agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Apa Seuman hari ini mempertanyakan hal tersebut pada saya, meskipun hari ini saya sendiri tidak berhak untuk menjawabnya. “Dek Gam, kiban cara ta bedakan wartawan asli ngeun palsu?” tanyanya pada saya.
Pertanyaan ini sedikit membuat bingung kepala saya. “Dari ID Card nya Apa,” jawabku sekenanya.
“Tapi, para maling yang ditangkap kemarin juga mengantongi identitas sebagai wartawan?”
“Iya memang. Tapi selaku masyarakat yang cerdas kita harus memilah, mana ID Card wartawan asli mana ID Card wartawan aspal,” jawabku lagi.
“Lalu bagaimana membedakannya? Bukankah saat ini sudah terlalu banyak media-media baru yang muncul dan berkembang pasca reformasi?”
“Ini lah yang membuat lembaga-lembaga wartawan bingung pak. Memang sudah terlalu banyak media yang bermunculan saat ini dan melahirkan ratusan bahkan ribuan wartawan di Indonesia yang bisa beroperasi di seluruh negeri. Seharusnya, lembaga-lembaga kewartawanan yang ada di Aceh, turut melampirkan surat ijin tugas pada wartawan luar ketika beroperasi di Aceh. Pemberian surat ini, membuktikan seseorang yang mengaku wartawan dan bertugas di tempat kita ini, memang benar-benar wartawan. Bukan wartawan aspal,” jawabku.
“Hmm…tapi kan itu belum cukup. Selaku masyarakat, kami kan tidak bisa sepenuhnya paham dengan status surat atau ID Card wartawan asli atau wartawan aspal tersebut?”
“Waduh, kalau itu benar juga Apa. Begini saja, bagaimana kalau kita bertanya saja pada lembaga yang memayungi profesi tersebut seperti pada PWI, PWA, AJI, AJTI dan lembaga-lembaga profesi kewartawanan lainnya di Aceh Apa?”
“Ya, mungkin itu sebuah kewajiban para ketua-ketua lembaga wartawan. Lalu bagaimana kewajiban sebuah media tempat para wartawan itu bekerja?”
“Kalau media, biasanya dalam produknya turut mencantumkan nama-nama para wartawan di box redaksi. Selebihnya, para wartawan itu juga diberikan bekal ID Card beserta nomor kontak dan alamat kantor bagi pekerja media yang berstatus wartawan, dan surat tugas bagi kontributor atau pun wartawan freelance. Kalau wartawan lokal, kita mudah melacaknya Apa,” jelasku.
“Lalu bagaimana dengan wartawan interlokal?”
“Wartawan luar Apa, bukan interlokal. Itu yang harus menjelaskan adalah para tokoh media. Aku belum bisa mengklasifikasinya Apa. Mari kita bertanya saja pada mereka,” jawabku lagi.[]
“Nyan, kiban nyoe bang?” tanya Apa Seuman sembari menyeruput kopinya.[]