AKU diajak Pak Samsul untuk mendistribusikan boh itek alias telur bebek miliknya. Hasil panen Pak Samsul kali ini sangat melimpah. Bebek-bebek piaraannya itu rajin sekali bertelur, sampai-sampai kedai dekat rumah tak mampu menampungnya lagi. Tterpaksalah telur bebek yang sudah dipejruek (diasinkan) itu dibawa ke peukan raya.
Ternyata tak mudah menembus pasar besar, butuh waktu lama untuk mendapatkan toko yang mau menerima telur bebek Pak Samsul. Dari sekian banyak toko yang kami sambangi, akhirnya kami tiba di sebuah toko yang pemiliknya tergolong sangat aneh.
“Kalau barang seperti ini susah lakunya, sekarang orang-orang mencari barang-barang yang sudah terkenal. Makanya kita harus meng-iklan-kan barang kita. Memang akan menghabiskan banyak biaya untuk iklan, tapi setelah itu barang kita akan laku keras. Contohnya sosis, barang seperti itu selalu dicari dan hansep barang,” katanya berpanjang lebar, ia samakan produk home industry Pak Samsul dengan perusahaan kooperatif milik orang Eropa itu.“Begitu juga dengan KRC,” sambungnya lagi yang kukira sebuah merk mobil. “KRC itu padahal cuma ayam goreng yang dibuat dengan resep khusus, tapi menjadi makanan mewah dan selalu dicari meski harganya mahal, semua itu karena iklan.” Mungkin yang ia maksudkan adalah Kentucky Fried Chicken (KFC), ayam goreng dari Kentucy, Amerika Serikat. Sungguh luar biasa orang ini benar-benar aneh cara berpikirnya. Mengatakan KFC saja salah, masih berani mengajari teori ekonomi pada Pak Samsul, guru ekonomi SMA-ku.
Telah banyak teori ekonomi yang kudengar dari Pak Samsul, termasuk mengelola bisnis seperti layaknya orang main judi. Tapi pemilik toko yang ada di hadapanku itu hanya cara ia menghitung uang dan menghempaskannya ke meja yang mirip gaya berjudi.
“Bapak harus mengiklankan boh-boh itek ini di TV, biar terkenal dan mudah laku, kalau hanya menawarkan dari toko ke toko seperti ini, jangan harap bisa laku.”
“Tapi telur asin ini laku keras di gampong kami, saya pikir tak ada salahnya mencoba meluaskan jaringan sampai kemari,” kata Pak Samsul promosi, tapi pedagang tua itu sepertinya tak menggubris.
“Kalau mau maju, kita harus main lewat iklan, begitulah cara orang-orang pintar berbisnis. Kalau sudah pasang iklan, nanti saya akan tampung barang bapak,” tambahnya lagi.
“Ya, bang, nanti setelah telur-telur asin ini saya laku, baru saya akan pasang iklan di koran Hantomsalah,” ujar Pak Samsul. Kali ini ia tampak benar-benar kesal dan mulas.[]