Di saat merayakan hari kemenangan Idul Fitri 1432 H di salah satu gampong, beberapa hari lalu, seorang laki-laki paruh baya mencaci maki kinerja pemerintahan yang katanya ; “Orang-orang di pemerintahan kita itu, waktu di tarik (rekrut) menjadi pegawai sama sekali tidak bisa menerapkan ilmu hitung yang tepat dalam pekerjaannya sehari-hari”.
Mendengar kata-kata tersebut, aku kemudian bertanya maksud dari ucapannya tersebut. Sembari menenggak segelas sirup merah dan mengulum segumpal asap tembakau, kemudian laki-laki itu melanjutkan ceritanya.
“Maaf cakap dek, coba kamu kira-kira. Jika aku harus membayar sesuatu dengan jumlah uang sebesar Rp5.800, kemudian aku berikan uang Rp10.000, berapa jumlah uang yang harus kamu kembalikan?” tanya laki-laki itu.
“Hmmm…Rp4.200 pastinya,” jawabku dengan cepat.
“Ya…tepat sekali jawaban kamu. Tapi, apa kamu pernah membayar tagihan rekening listrik sesekali ke kantor Layanan Listrik (PLN)?” tanyanya lagi.
“Pernah lah pak,” jawabku sedikit bingung dengan pertanyaanya itu.
“Hehee, kamu pasti belum tahu sebuah hubungan dari dua pertanyaanku ini. Sekarang aku jelaskan, pernyataan pertamaku tadi dengan dua pertanyaan terakhir. Aku pernah berpengalaman, bukan sekali, mungkin hampir tiap kali membayar tagihan listrik, uangku selalu tidak tepat dikembalikan oleh orang-orang yang bekerja disana,” keluhnya.
Lanjutnya lagi, pernah beberapa kali tagihan listrik rumahnya berjumlah ganjil. Maksudnya tidak genap dalam artian bukan dalam pecahan ribuan. Misalnya, katanya, tagihan listrik sebesar Rp35.600 maka uang yang dipotong oleh pihak teller adalah Rp36.000. Tambahnya, jika kita tidak membawa uang pecahan Rp100 dan Rp500, maka uang itu sah dibulatkan menjadi seribu rupiah.
“Saya pernah meminta dibulatkan saja menjadi Rp35.000 saja. Namun mereka menolak,” ujarnya, sembari mengulum kembali asap rokok dan mengeluarkannya dari hidung.
“Iya juga,” jawabku.
“Aneh bukan? Kalau hal ini hanya berlangsung sekali-dua kali, aku tak mempermasalahkannya. Namun sudah 33 tahun aku membayar tagihan listrik rumah, hal serupa terus terjadi. Coba kamu hitung, jika rata-rata uang ku dipotong per bulannya Rp100-Rp500, berapa sudah jumlah keuntungan mereka (PLN) selama 33 tahun ini?”
“Ya…benar itu kata si Apa Seuman. Nyak juga pernah mengalami hal serupa,” timpal Nyak Kasum, pemilik rumah yang kami singgahi di hari yang fitri itu.
“Hahaha, benar kan kataku,” sela laki-laki paruh baya yang disebut Apa Seuman tersebut.
“Nyak pernah protes pada mereka satu kali ketika membayar uang tagihan listrik. Kata mereka waktu itu, sudah menjadi tugas mereka seperti itu. Lucu bukan? Kok tugasnya malah merugikan kita rakyat kecil?” sambung Nyak Kasum.
Lalu dia menceritakan ikhwal kejadian tersebut. Setelah melakukan protes di tempat pembayaran rekening listrik tadi, ia kemudian dicerca agar tidak membayar lagi di outlet mereka. Namun, Nyak mengatakan kemana saja membayar tagihan listrik, kami akan mengalami hal serupa. “Kalian ini cuma bisa merugikan rakyat saja. Memang jumlah itu cuma lima ratus ataupun seratus, tapi jika sepuluh-orang sudah berapa keuntungan kalian?” katanya emosi, seakan-akan kami yang mendengar adalah para teller yang bertugas di pusat pembayaran listrik.
Setelah melakukan protes tersebut, tanpa sepengetahuan Nyak Kasum ia diikuti oleh seorang laki-laki yang menawarkan jasa untuk mengantar ia pulang ke rumahnya. “Saya merasa heran, siapa laki-laki itu. Padahal Nyak tidak mengenalnya?”
“Hmm…itu pasti orang-orang dari kantor listrik juga,” jawab Apa Seuman. Lanjutnya lagi, “Aku juga pernah satu waktu bertemu dengan seorang kawan yang sedang makan di samping tempat pembayaran listrik. Saat itu, kawan tersebut bersama tiga orang temannya sedang makan paha ayam goreng. Lalu dia mengajakku untuk bergabung. Karena aku tahu dia bekerja di kantor listrik, dengan spontan aku mengatakan apa gak enak makan ayam disini, di dalam leu that keumeukoh,” ceritanya sambil tersenyum.
Hal ini dikatakan Apa Seuman setelah mengalami pemotongan beberapa ratus rupiah uang kembaliannya oleh pihak teller. Kemudian, oleh temannya tersebut, Apa Seuman diajak untuk masuk ke dalam kantor. Disana, katanya pada kami, ia diberikan sebuah memo yang sudah ditandangani. “Lalu saya disuruhnya ke pusat pembayaran listrik lagi. Jelas saja saya bingung waktu itu. Namun, tanpa bertanya saya langsung menuruti kata-kata kawan tersebut. Sesampai disana, saya menyodorkan memo dan pihak teller memberikan lima lembar kertas yang menjelaskan bahwa untuk lima bulan ke depan saya bebas dari membayar tagihan listrik. Kemudian, baru saya tahu, bahwa salah satu dari orang yang duduk bersama kawan saya itu, rupanya kepala kantor tersebut,” cerita Apa Seuman.
“Oh…itu ongkos tutup mulut Apa,” sela ku sekenanya lalu meminum sisa air sirup dalam gelas.
“Hahahaha….nyan ka beutoi. Memang lah pejabat tanyoe jinoe, meunyo ilmee hitong manteung na yang kureung. Mereka cuma lulus ilmu berhitung dalam hal penjumlahan. Kalau dalam hal ilmu hitung pengurangan dan pembagian, mereka masih kelas nol besar. Kalah sama kami yang petani-petani ini,” akhirinya. Nyan na neutupeu pak bos? []