Benarkah Aceh telah damai? Benarkan kisah konflik hanya menjadi cerita usang yang akan kita tutup rapat-rapat? Benarkah dendam kesumat habis terkikis oleh ie beuna? Benarkah Acehku telah diam dan senyap kala senjata dikatakan lenyap?
Pertanyaan serupa tentu masih menyelubung di segenap kepala orang, baik orang Aceh maupun yang bukan. Dokaha yang di Harian Aceh itu bilang, inilah realisme Aceh. Ketika tanahnya dikatakan telah damai, namun sejarah luka masih mesti disemai.
Cerita punya cerita, kisah punya nama, dendang lama masih membahana. Tersebutlah Roket di Aceh Utara. Mantan anggota GAM yang ditahan di Polres Lhokseumawe 28 Agustus silam, telah dibebaskan sejak 23 November 2007. Namun, pembebasan dia membawa dendang baru di masa Aceh dikatakan sudah damai, di saat Aceh hendak membungkus kenangan luka pahit masa konflik.
“Kemaluan saya dibakar, kaki saya ditembak,” demikian pengakuan Roket.
Lain lagi halnya Badrun dengan kasusnya. Ditambah Husaini yang kematiannya menjadi polemik antara pemangku keamanan di negeri ini.
Saling tuding antara pemangku kemanan di ranah Serambi pun kerap merindingkan telinga. Yang pedih pekak masyarakat. Yang nyeri susum masyarakat. Yang sakit hati masyarakat. Yang hidup seperti kancil di hutan harimau juga masyarakat.
Sedangan di lain pihak, antara dua kubu pemangku kemanan negeri ini terus saling tuding. Namun, yang terpiting kembali masyarakat. Dokaha sendiri mengalami ngeri dan nyeri dari cerita di kampong ini selama beberapa pekan terakhir.
Melihat saling tuding dan saling bela, Dokaha menilai inilah realisme Aceh, realisme yang ingin berbalas. Katanya, dalam kearifan ureueng Aceh ada pepatah, semuanya harus berbalas; darah dibalas darah, susu dibalas susu, parah di balas parah, dendam diibaratkan batu. Ya, batu itu diam, tapi jika dilempar bisa memecahkan kepala.
Kearifan itu semakin terlihat dalam hadih maja, Alang tulông lansông tarék, maté tatanom gadoh tamita, ngui tapulang utang tabayeu, beutateupeu adat udép lam donya. Artinya, semua mesti tahu, Ini Aceh, Gam! bukan Medan, Bung! Pula lain dari Jakarta, Coy! Apalagi Jowo, Mas!
Mengingat itu, Dokaha tersenyum sendiri. Ini zaman buruk periode tsunami, bukan saatnya lagi kita saling dendam dan benci. Apalagi, atas nama ego etnis. Karena Dokaha selalu ingat pesan Allah lewat Alquran bahwa Allah sengaja menciptakan manusia di muka bumi ini bersuku dan berbangsa-bangsa, hingga di kulit pun ada yang berlainan warna, semua agar bisa saling mengenal dan cinta, bukan saling membinal mencari perkara.[]