Selamat sejahtera tuan, salam damai untuk kita semua. Hari ini tuan, aku ingin menyampaikan sedikit keluhanku mengenai dunia pendidikan Aceh kita yang tercinta. Pendidikan di nanggroe ujung Sumatera yang belum banyak berubah ini, walaupun orang-orang bule telah membantu kita pasca musibah itu, tuan.
Beberapa waktu lalu, tuan. Aku bepergian ke pantai timur nanggroe kita. Sesampai disana, aku menemui seorang pengusaha yang merintis bisnisnya dari modal nol Rupiah. Ia sekarang sudah bisa dikatakan sukses di bidang usahanya, meskipun ia berkeluh kesah mengenai cita-citanya tempo dulu yang tak kunjung kesampaian hingga mencapai usia kepala empat.
Sedikit menarik dengan cita-citanya itu tuan. Dalam kisahnya kepadaku, selaku orang yang baru dikenalnya ia mengatakan hendak menjadi seorang ahli pertambangan sejak mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. Namun, karena kondisi negeri kita yang carut marut waktu itu, disamping kondisi ekonomi keluarganya yang kurang mampu cita-citanya itu tak bisa ia raih hingga akhirnya ia sudah terlalu tua untuk belajar menjadi seorang pertambangan. Maklum, pada saat itu ia mengatakan di nanggroe kita tak ada satupun lembaga pendidikan yang mengkhususkan dirinya di jurusan tersebut.
Seiring perkembangan jaman, nanggroe yang pernah remuk redam ditelan konflik ini akhirnya berbenah. Banyak lembaga-lembaga pendidikan dengan jurusan baru telah dibuka di sini. Namun tuan, ada satu kebimbangan yang melanda pikiran diri ini sekarang. Apakah warisan negara luar yang telah membuka mata kita sejak hung balang tsunami itu telah kita laksanakan secara tepat, akurat, dan bersih dari ketidak adilan?
Tuan, banyak bermunculan kriteria jurusan pendidikan baru di Aceh saat ini. Antaranya, jurusan politik, kelautan, geografi, budaya dan sebagainya yang mungkin saya alpa dalam mengingatnya. Tetapi kembali saya bertanya, apakah lembaga-lembaga pendidikan yang menyediakan, memberikan dan menyalurkan pengetahuan mengenai ilmu tersebut sudah melakukannya secara optimal?
Lihat saja tuan, kondisi perekonomian nanggroe kita yang masih apuh apah bangkit dari keterpurukan padahal kita mempunyai lembaga pendidikan yang konon katanya merupakan cikal bakal atau embrio Universitas Negeri di Provinsi modal ini. Kemudian, apakah hukum di tempat kita ini sudah terbebas dari penyakit korupsi, walaupun kita mempunyai lembaga pendidikan formil yang melahirkan pengacara, hakim dan penegak hukum muda selama ini? Terus bagaimana kondisi dunia kesehatan kita? Sudah baikkah? Pun sudah membaik, kenapa masih banyak masyarakat kita yang harus hengkang ke luar negeri untuk menyembuhkan rasa sakit yang mendera tubuh dan jiwanya?
Bagaimana dengan hasil tani, hewan-hewan peliharaan kita, pembangunan fisik di dalam negeri, adat dan budaya yang menjadi pilar sebuah bangsa di sudut gampong kita, sudah normal kah? Sudah optimalkah atau sudah mumpuni kah kesemua itu?
Aku terus bertanya di dalam hati tuan. Karena pertanyaan itu terus muncul dalam benakku, seorang warga negara yang sebenarnya tidak mempunyai hak memutuskan kebijakan dan memberikan konsep keilmuan dalam hal-hal tersebut. Namun, sebagai warga negara pula aku mencoba bertanya saja. Bertanya pada hati nurani kita, tuan. Bagaimana kondisi dunia pendidikan kita saat ini?
Semua keluh kesah ini tuan, aku goreskan dalam tulisan ini. Berpijak pada seorang muda yang saat ini mengenyam pendidikan sebagai siswa kelautan di sebuah pulau, di nanggroe kita yang semalam pulang dengan bahu terkulai lemas. Ia berkata, meski kami sudah membayar uang sekian juta rupiah untuk mengambil pelajaran Praktek Kerja Lapangan (PKL) ke sana, ternyata sesampai disana kami tak di ajarkan apa-apa mengenai teori yang telah dilahap sejak dua tahun dibangku sekolah itu.
Meski kami sudah membayar sekian juta rupiah dengan janji-janji dari seorang guru, namun kami tidak mendapatkan apa-apa, bahkan kami kelaparan disana. “Bagaimana pendidikan ini? Aku kecewa,” katanya pada diriku tuan. Kata pemuda yang berkeinginan mengarungi samudera dan bisa membuat kapal untuk Aceh di kemudian hari.
Aku hanya bisa menatapnya nanar tuan. Tanpa bisa mengatakan apa-apa, kemudian aku merenung. Meskipun sudah mempunyai fasilitas untuk belajar, namun generasi kita ternyata masih harus menelan kegetiran untuk mencapai cita-citanya, walau hanya sebagai mekanik kapal-kapal besar. Lalu, bagaimana dengan mereka yang hari ini berkeinginan menjadi seorang ahli pertambangan, seorang ilmuwan dan bahkan konseptor pendidikan; jika kita, negara kita, institusi pendidikan kita, hukum dan segalanya masih setengah hati dalam mengaplikasikan ilmunya dan keadilannya untuk kemajuan sebuah bangsa di kemudian hari?[]