HARI ini Aya masuk kuliah sudah telat. Juga, dia mengenakan celana dan baju ketat: tumben! Pak Bus yang sedang mengajar Sosiologi memperhatikannya lekat-lekat. Segera Pak Bus menyuruh Aya duduk paling depan, berhadapan dengan meja Pak Bus. Lalu, sang dosen itu mengedipkan mata pada mahasiswanya yang duluan hadir, dan, ia pun menatap Aya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Cantek that droeneuh uronyoe (cantik sekali kamu hari ini). Wah…,” ujar Pak Bus. Aya pun tersipu. Malu sangat. Kawan-kawan Aya pun menatapnya dengan khidmat, serentak. Lalu, Aya, dengan wajah merah keluar. Pulang.
Sebelumnya, waktu pertama masuk, Pak Bus sudah mengikat aturan dengan mahasiswanya, bahwa kalau belajar dengannya pakaian harus sopan, masuk tak boleh telat, dan hape digetarkan saja, boleh permisi untuk ngomong di luar ruangan, “jangan gara-gara kuliah satu jam, hubungan setahun jadi putus,” tegasnya. “Ini metode dakwah orang gila terhadap orang gila,” celotehnya pada mahasiswa, bergurau. “Kita sama-sama gila.”
“Orang Aceh sekarang kayak anak-anak. Tatham lagee tayue (Dilarang seperti dianjurkan),” jelas Pak Bus. “Apa benar itu salah satu dari penyakit sosial, Pak?” tanya Je. “Yap. Benar sekali. Istilah kerennya, patologi sosial. Jadi, hal ini sudah menjadi penyakit sosial baru dalam kehidupan orang Aceh,” terang Pak Bus.
Maka jaman sekarang, kata Pak Bus, kalau misal bikin pengumuman itu harus bernada “larangan”. Misal di selebaran, harus ditulis “Jangan Dibaca!” sehingga orang malah tertarik untuk membacanya, sebutnya. Atau di kampung-kampung kalau Pak Keuchik hendak membuat rapat harus berkata, “Pungo-mumang (gila-pusing),” kata Pak Bus memelesetkan kata ‘Pengumuman’ sambil menyeringai senyum, “eh salah,” sambungnya. Misal untuk pengumuman diadakan gotong royong, Pak Keuchik harus berkata, “kepada bandum masyarakat Gampong Pulan, inong-agam, tuha-muda, singoh neujak u meunasah untuk ta jak cok parang dan peuyampoh pre, mulai poh 8. (kepada seluruh masyarakat Kampung Fulan, wanita-pria, tua-muda, besok harap hadir ke surau untuk mengambil parang dan sapu gratis, mulai jam 8),” sebut Pak Bus. “Ya ya…” Je dan kawan-kawan angguk-angguk kepala. “Berarti Pak, misal pada baliho, kita harus tulis ‘Selamat Datang di Kota Bandar Wisata Mesum’ dong…” sebut Ari.
Pak Bus tersentak. Sontak terperangah. “Ya juga ya…”. Atau, “Misal para pemimpin di negeri kita harus bilang pada media, ‘Mari Kita Berkorupsi’,” sebut Bram. “Bisa jadi,” sahut Pak Bus. Semua mahasiswa pun pada angguk. “Pantesan orang-orang di kampung kami tak mau penuhi ajakan salat ketika dengar azan, atau tak mau hadiri rapat, juga pengajian,” gumam kawan-kawan lain. “Okelah Pak. Kalo begitu, kita.. jangan belajar lagi!” Hehe.[]
bner bgt tuh! jaman’a cari prhatian yg aneh2 hehe