Jiwa

KETIKA malam menukik ke sepertiga pembagian waktu, ketika ranjang tidur menjadi titik terminasi bagi tubuh yang lelah dan jiwa yang apoh-apah oleh keseharian yang memaksa aksi cari rezeki tanpa jeda, maka dialog keheningan bersimpongang di langit-langit kamar lajang yang gersang.

“O, capek, ya. O, lelah nian, ya. Sekarang tubuhmu kau bawa tidur untuk memulihkan kondisi agar esok hari kau bekerja lagi segila keubeue tareek nok. Kau benar-benar lambang ketamakan duniawi,” kata Jiwa dengan nada agak sinis kepada tubuh yang hampir terlelap.

Dan tubuh menyahut dengan gairah nada kecapean, “Jangan kesal, kawan. Saat aku terlelap, kau juga sudah bebas menggunakan dunia untuk dirimu sendiri, apakah mau raun-raun ke seluruh semesta atau mau tafakkur dalam keheningan seribu bahasa, terserahmu.”

Alkisah, telah diikatkan oleh Sang Maha Pencipta kontrak perjanjian di mana, selagi semua unsur di dalam tubuh masih terkoordinir untuk memenuhi persyaratan faal kehidupan badaniah, maka Jiwa wajib mendampinginya terus-menerus kecuali hanya istirahat sebentar tatkala tidur.

Ketika tidur, jiwa bebas dengan eksistensinya sendiri sementara tubuh memulihkan kondisi ragawi. Ketika tubuh terjaga, jiwa diajak serta dan malah cendrung diperkuda untuk berpikir dan menggali berbagai akal buat memenuhi segala hasrat badani seperti untuk mendapatkan rezeki dan hal-hal lain yang bersifat duniawi.

Dalam sepanjang kehidupan, diam-diam jiwa memendam suatu kebencian kepada tubuh. Tetapi dia tak bisa berbuat apa-apa karena ikatan perjanjian sunnah Sang Maha Pencipta. Selagi tubuh masih belum mati, dia wajib bersarang di raga itu.

Dan hari ini jiwa berkata, “Ketika seseorang meninggal dunia, maka siapa bilang bahwa aku merasa sedih meninggalkan tubuh si orang mati? Siapa bilang? Aku malah senang terbebas dari tubuh manusia yang selalu memaksaku untuk memeras segala potensi buat memenuhi segala keperluan badaniah yang tak pernah terpuaskan sepanjang umur dunia.

“Kematian adalah kebahagiaan bagiku. Kematian adalah kemerdekaan bagi jiwa. Kematian membuat aku segera bebas kembali pulang ke haribaan tempat di mana dulu aku diusir pergi oleh Tuhanku untuk misi infiltrasi, penyusupan dan intelijen ke tengah-tengah organisasi fisik manusia.

“Kematianmu, wahai manusia, adalah hari kemerdekaanku. Kematianmu, wahai manusia, adalah cita-cita tertinggiku. Si mulut besarlah para penyair dan penyanyi yang mengatakan aku sedih tatkala kau mati. Si mulut besarlah si penyair dan si pelagu yang celaka itu. si penyair dan si pelagu yang penipu..!”[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.