SANG emak kesal pada Jailani. Anaknya yang sudah kelas 5 SD itu sangat boros. Betapa tidak, sehari di jaman serba praktis ini, Jailani menghabiskan sepuluh ribu untuk jajan sekolahnya, kemudian lima ribu saat main-main sore, dan lima ribu lagi saat pergi mengaji malam ke pesantren. Sehingga, total pengeluaran untuk Jailani dalam sehari minimal dua puluh ribu. Lalu mencari solusi supaya si bijeh mata (anak semata wayang)-nya itu menghemat. Setelah dipikir-pikir dengan matang, si emak menyuruh Jailani untuk bermain julo-julo (jula-jula) bersama anak-anak tetangganya yang akan dimulai minggu depan. Nominalnya seribu rupiah per peserta julo-julo yang berjumlah sepuluh anak. Dan ditarik dengan cara diundi setiap seminggu sekali.
Mulanya Jailani menolak. Merengek-rengek. Ia lebih memilih celengan saja. Ia masih cinta pada celengan berbentuk ayam betina yang sedang mengeram. Selain kerena tanpa bataih tunggee (deadline) dalam menabung, celengan juga mudah dibelah jika mendadak butuh uang untuk sekadar membeli senjata mainan, misalnya. Tapi setelah dibujuk emak dengan iming-iming akan dibelikan sepeda baru jika mau bermain julo-julo, Jailani akhirnya menuruti.
Bersamaan dengan Jailani main julo-julo, si emak juga sama. Guru matematika itu bermain arisan sesama dewan guru di sekolah menengah pertama tempat dia mengajar. 20 orang pesertanya. Sekali tarik 2 juta; sebulan sekali. Cukuplah untuk membeli jilbab Malaysia bagi ibu guru, atau, beli sepatu kulit bagi bapak guru. Atau bagi guru yang banyak anak, bisa membeli puluhan mainan untuk dibagikan satu-satu secara merata selayaknya dibagi nasi di khanduri mouled.
Beberapa hari berselang. Datanglah hari penarikan pertama bagi anak-anak yang ditemani orangtuanya masing-masing. Semuanya telah tiba di rumah Budi. Budi sebagai pengumpul julo-julo pun telah siap mengacak-acak bulatan-bulatan kertas putih. Ketika Budi hendak meruahnya ke lantai rumah, kesembilan anak lain pasang kuda-kuda siap menerkam. Bruh! Diruah sudah. Jailani dan kawan-kawan saling berebutan.
Tak lama, mereka membukanya pelan-pelan. Jailani tertawa membuka bulatan itu, saat secara perlahan kertas itu kian melebar sehingga kian tampak kalimat ‘Kamu Beruntung’. Jailani jeda membukanya saat melihat dau kata itu. Lalu girang bukan kepalang. Anak-anak lain yang sedang membukanya terpaku dan terdiam melihat Jailani senang. Tapi mereka tak percaya, sebab, Jailani belum tuntas membukanya. Si emak lantas menyuruh Jailani untuk melanjutkan. Lalu dibukanya buliran kertas itu dan kian tampak tulisannya hingga lengkap bertuliskan ‘Kamu Beruntung Sekali Tidak Kena Hari Ini. Coba Lagi’. Spontan saja Jailani berang dan merah muka. Sementara seisi ruangan tertawa melihatnya. Si emak sendiri tersenyum kecil. Jailani kian marah ketika melihat Budi mendapatkan kertas bertuliskan ‘‘Selamat! Kamu Beruntung Mendapatkan 10.000,-00”.
Dua hari kemudian, giliran si emak-emak yang arisan. Kali ini di rumah emaknya Jailani. Dan, penarikan pertama itu dimenangkan emak Jailani. Dua juta diperoleh. Cukup sudah untuk menunaikan janjinya terhadap si anak.
Lalu, lima hari kemudian, benar-benar giliran Jailani yang kena di penarikan julo-julo yang kedua. Jailani pun melompat-lompat kegirangan. Sepuluh ribu diperolehnya. Jadi bila dipeusapat dengan uang emaknya menjadi 2.010.000. Dan sehari setelahnya, Jailani langsung dibeli sepeda baru. Kian senang.
Malamnya, mereka berdua berpikir, untuk tidak mengikuti lagi kedua acara itu, bersamaan dengan ayahnya Jailani yang pindah tugas ke luar kota. Jadi, mereka harus ikut sang kepala keluarga. Mereka pun setuju. Setelah mengurus surat pindah sekolah sehari kemudian, mereka pun meninggalkan Gampong Buhak yang 5 tahun telah mereka tempati. Tanpa rasa simpati dan empati sedikitpun pada orang di sekitarnya, termasuk kawan main julo-julo dan arisan, Jailani dan emaknya pergi bersama sang ayah atau sang suami.
Imbasnya, peserta julo-julo dan arisan marah besar. Mereka ditipu. “Lagee u meunan minyeuk. Kapaih ma ngon aneuk,” maki orang-orang itu. Kesal sekali. “Ternyata perihal penyelewengan dana tidak hanya di lingkungan birokrasi, tapi juga ada dalam rumah tangga dan lingkungannya. Hati-hati. Ini jaman buruk!” kata kawan si emak.[]