Kaca Mata

MASIHKAH anda ingat? Dulu ada sebuah layanan pesan singkat kiriman dari nomor +6281534289XXX di rubrik ‘SMS Pembaca Harian Aceh’ edisi tutup tahun,  Kamis, 31 Desember 2009 dengan judul “Saran untuk HARIAN ACEH” Masihkah anda ingat? Tidak? Baik, mari saya ingatkan.

SMS itu berbunyi begini: “Kamoe na meubaca dan meulangganan Surat Haba HARIAN ACEH. Mungken pembaca laen pakat cit meunyo ta saran, huruf meupeurayeuk dan meupeujelas atawa leubeh teubai lom lage bak huruf SMS Pembaca. Trimong gaseh. Ttd TT Aceh, muda.

Saran pembaca agar Harian Aceh memperbesar dan mempertebal huruf, mengingatkan kita pada sejarah awal penerbitan media cetak berbahasa Melayu di Batavia awal abad XIX.

Kala itu Koran berbahasa Belanda dan Cina hurufnya tak masalah kecil-kecil, karena para pembaca umumnya mampu membeli kaca mata. Sedangkan surat kabar berbahasa Melayu hurufnya harus besar-besar.

Menikmati SMS tersebut, tanpa sengaja tentu memancing sebuah segmen “boleh jadi” dalam benak kita. Jangan-jangan permintaan memperbesar huruf sebuah surat kabar daerah adalah karena berangkat dari kenyataan di daerah itu, di mana pembaca berusia di atas 50-an yang umumnya memang sudah bermasalah dengan indra penglihatan, rata-rata sudah tak sanggup lagi meski hanya untuk sekedar menyiagakan sebuah kaca mata berbingkai sederhana di saku bajunya.

Jika fenomena “tak mampu beli kaca mata” seperti itu genap mewakili populasi terbanyak, maka, kendati kesannya agak berlebih-lebihan dan bernada main-main, layak jadi pertanyaan. Apakah dalam tahun-tahun itu atau malah dalam beberapa tahun terakhir masyarakat Aceh diam-diam semakin menukik ke dasar ngarai di lembah kemiskinan hingga untuk mencerap informasi tercetak saja harus huruf Harian Aceh-nya yang dibesarkan, bukan kaca mata yang menjadi jalan keluar?

Jika, ya, jelas itu adalah sebuah “kasus”. Musti ada pundak yang wajib diminta pertanggungjawaban sebelum kita memilih pundak-pundak yang lain untuk menanggung itu di Pilkada depan.

Ya. Menanggung sepasang kaca mata. Untuk setiap kawula Nanggroe berusia di atas 50-an. Hingga Harian Aceh-mereka terbaca sampai halaman terdalam. Setiap hari. Meski tak harus pagi-pagi sekali. Tinggal landas. Menuju Aceh Baru.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.