“Seungap that lagoe, Dokaha. Peu hana le isu?”
“Haba cit le, cuma kali ini bah gaki limong. Kemana saja saya pergi di semua trotoar jalan yang ada kaki lima penuh orang jualan. Masok Pasar Aceh pun penuh dengan pedagang kaki lima. Apa kami ini tidak punya hak lagi jalan di kaki lima. Kaki lima itu untok apa dan siapa, polem?”
“Kaki lima itu makesodnya lima kaki dari pinggir jalan atawa pinggiran toko yang diperuntokkan untok peujalan kaki, Dokaha. Masak itu saja Koi tidak tahu?”
“Jadikan untok kami itu jalan? Kenapa sekarang penoh dengan pedagang? Dan sebutannya pun menjadi pedagang kaki lima? Apa hak merika merampas hak kami yang berjalan di kaki lima? Apa kami haros ke jalan aspel? Kan bisa ditabrak motor yang lari kesetanan? Kiban jeut meuno?”
“Itu urosan ada sama walikota, dinas ketertiban, dinas pasar. Tapi kudengar-dengar, asal sudah ada UUD (ujung-ujungnya duit) mereka boleh dagang sembarangan. Suka-suka marikalah. Sudah kasih peng habis perkara,” jawab Polem Lemplok.
“Itulah yang aku tidak suka Polem. Betapa susahnya aku berjalan kaki, di mana-mana pedagang kaki lima. Ada yang jual bensin, ada yang asongan. Buka warung, macam-macamlah …”
“Tapi kan katanya itu sektor informal. Jangan digusor, tapi dikasih tempat yang patot.”
“Dikasih tempat yang patot, tetap saja mereka lari lagi ke kaki lima karena dagangannya tidak laku. Gimana itu, Polem? Sekarang di Pasar Aceh, jalanan umum pun sudah direupah marika. Pasar jadi semrawut, ke pasar pun jadi tidak nyaman.”
“Kalau ke pasar Aceh, Pasar Peunayong dan pasar apa saja yang berantakan dari dulu pun tidak nyaman, Dokaha. Karena yang namanya pasar, banyak maksiat di situ. Misalnya mengurangi sukatan, timbangan, tipu sana sini, colek sana colek sini inong gop. Macam-macamlah. Kalau mau nyaman kau solat doha saja di Masjid Raya Baiturrahman.”
“Ya itu bolehlah. Tapi bagaimana supaya tertib kaki lima atawa lima kaki dari as jalan?”
Polem Lempok jadi pusing tidak tahu mau jawab apa. “Kau pileh saja aku jadi walikota. Pasti kaki lima dan lima kaki kutertibkan. Mereka pun tidak kubikin susah, cuma kutertibkan saja. Kubuat pasar khusus bekas pedagang kaki lima,” ujarnya sambil menghirup kopi pagi.
“Apa itu sudah jalan keluar yang tepat? Nanti marika dagang lagi di kaki lima bagaimana?” Kening Dokaha tampak melipat.
“Kalau begitu kita jadikan tenaga kerja Indonesia (TKI) saja ke Malaysia. Atau jadi pedagang di Chowkit, Kuala Lumpur. Di sana banyak ureuengAceh jeut keu peudagang.”
“Kalau marika tidak mau ke Malaysia, tetapi tetap mau dagang di kaki limong kiban?” tampak Dokaha ngotot.
“Kuperintahkan DPRK keluarkan kanun larangan dagang di kaki limong.”
“Bisa saja itu. Tapi pendapatan Pemda berkurang pakiban?
“Aku berhenti saja jadi walikota. Ka uroh le kah mantong!”
“Baru urosan kaki limong saja sudah putoh asa. Apa lagi yang layen?? Minta jadi walikota? Tak usah ya?” Dokaha beranjak meninggalkan Polem Lemplok yang terus saja mengomel.[]