Nyan ban… seumarak that Aceh. Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia kali ini berpacu dengan semangat kampanye partai politik. Dapat ditebak, di sejumlah daerah—mungkin Banda Aceh juga akan menyusul—bendera Merah Putih berpacu-lambai di sepanjang jalan. Jika dahulu, kita hanya melihat bendera Merah Putih dan umbul-umbul tanda penyambutan HUT RI, tahun ini, umbul-umbul itu dilengkapi dengan bendera atau umbul-umbul partai politik. Asyiknya, corak dan ragam bendera tersebut semakin banyak dengan diakuinya partai lokal di Aceh.
Celoteh kali ini, bukan hendak bicara heroik peringatan kemerdekaan kita. Hal itu, lain kali saja kita bincangkan. Saya hanya hendak berkelakar sedikit tentang kampanye partai politik. Bukankah kampanye sudah dimula meski tanpa tabuhan genderang rapa’i pasee. Namun, perlu diingat, ini masih kampanye tertutup. Maka itu, sebuah keluguan barangkali jika salah seorang bupati di salah satu daerah Aceh beberapa waktu lalu menyatakan dirinya secara tegas berada di partai tertentu (maaf, bukan lupa, hanya saja tidak ingin menyebut nama bupati dan daerahnya di sini, pula tentang partai apa. Jika tuan dan puan hendak tahu juga dia siapa dan partai apa, buka saja kembali halaman harian ini seminggu yang lalu).
Sebagian orang memang berpendapat itu bukan sebagai kampanye. Namun, dari sisi lain, ungkapan penegasan dengan kalimat progresif “Saya di Partai ….” Sama halnya dengan meminta masyarakat di wilayahnya saat itu agar mengikuti jejak dia di partai tertentu tersebut. Pasalnya, dia saat ini adalah sebagai kepala daerah tinggat dua. Bukankah peluang besar mengajak rakyat dalam wilayahnya agar turut bersama di dalam partai tertentu? Lantas, di manakan letak demokratis, jika demikian?
Begitulah lidah. Kendati dia tidak bertulang, disadari atau tidak, terkadang dengan gamblang kata-kata keluar. Lantas, setelah mengucapkan kalimat tertentu, banyak orang menarik kembali ucapannya. Orang-orang seperti itu pastinya dikatakan suka menjilat ludah sendiri. Orang-orang yang suka mengucapkan kata secara gampang dan gamblang, biasanya secara sangat mudah pula, dia dapat berkelit dari setiap kata yang diungkapkannya.
Memang, sejatinya sebagai orang yang hendak berada di depan atau juru kampanye, bersilat kata memang sudah menjadi tuntutan. Tak ayal, janji demi janji pun menggema. Keesokannya, koran-koran akan memberitakan tentang janji-janji tersebut, baik yang ditepati maupun tidak. Sayangnya, pemberitaan yang muncul terlalu sering tentang warga menagih janji. Artinya, terlalu acap janji masa kampanye yang tidak ditepati oleh si pejanji.
Karenanya, sebagai masyarakat sudah patut mendengar nasihat indatu. Kendati nasihat itu telah disampaikan berabad silam, kelihatannya masih dapat digunakan untuk masa sekarang. “Meumisee bèk tasangka tupee, meujanggot bèk neuduga udeueng; Meuseureuban bèk tasangka lubee; hana tha thè ka pancuri bajeung.”
Mengapa demikian? Sekali lagi, sudah menjadi kelumrahan yang hendak berada di depan, pintar mengolah kata. Tak hati-hati kita, negeri dan kampong sendiri bisa dijualnya demi dia dapat menjadi, kan begitu? Hal ini senada dengan hadih maja, “Haba sikrak sikatoe, dua lhèe krak jeut peubloe nanggroe.” Karena itu, sekali lagi, hati-hati![]