SAYA memerlukan sepeda motor, mobil, pakaian dengan warna dan kain berbahan baku kondisioner alias dapat mengatur suhunya sendiri sesuai waktu dan cuaca keseharian.
Saya sangat membutuhkan laptop, Hp dengan berbagai fitur seperti Hp termahal keluaran terakhir, dan lain-lain yang kalau disebut satu per satu tentu akan menggusur ruang tampil kata dan kalimat-kalimat lain dalam wilayah cang boh labu yang memang sudah ditentukan batasnya di taman demokratis kami ini.
Kebutuhan yang saya sebutkan itu jelas urgensitasnya. Tapi bicara kebutuhan, hampir 90% adalah bicara nafsu. Praktis kalau mau dibikin urutan jenisnya, tak cukup semua kertas dan dawat yang pernah diproduksi di dunia.
Nafsu, jangankan menyebut menceritakan romantika kedalaman hasratnya, menyebut jenis keinginannya saja satu demi satu akan kering liur enam-koma-sekian miliar manusia di bumi. Nafsu, aduhai, betapa tamaknya dia!
Tapi semua kebutuhan itu memang sangat urgen bagi saya apabila saya mampu untuk memilikinya. Ulangi, “Apabila saya mampu untuk memilikinya”. Jika tidak mampu untuk dimiliki, bagaimana saya harus berkutat pada keperluan? Kalau saya tidak mampu memilikinya, untuk apa juga saya membutuhkan itu?
Logikanya, jika saya mampu membeli, tentu saya sangat memerlukannya. Jika tak mampu, tentu saya samasekali tidak membutuhkan itu. Kemampuan ternyata sangat berhajat pada kebutuhan. Ulangi, “Kemampuan memiliki sesuatu, membuat kita sangat butuh pada susuatu itu.”
Kemampuan Densus 88 dalam menghabisi teroris di Aceh, ternyata sangat membutuhkan teroris Aceh. Tapi sayang, yang namanya teroris Aceh memang tidak ada di dunia ini.[]