Kemasan

Mari saya bilang padamu, kawan, bahwa sejak SD, yang namanya orang kita itu memang sudah sangat terbiasa membeli cintra manih berdasarkan kemeriahan kemasan. Sedangkan cintra manih bikinan Chik Piah kurang laku lantaran di kantung plastik balutannya tak ada gambar Donald Bebek.

Kata pengamat, sekarang banyak sekali produk Aceh yang kalah bersaing bahkan di ranah pasar sendiri. Dan pemerintah tampaknya kurang peduli. Padahal kalau mau didekati barangkali Chik Piah akan bilang begini, “Kalau pemerintah mau mengajari dan memodali saya untuk mengemas produk saya dengan cara yang seperti dilakukan orang, tentu saya akan lebih percaya diri dalam usaha mencari nafkah di bidang ini.”

Al kisah, sejak dari dulu penampilan barang bikinan Chik Piah biasa-biasa saja. Warnanya pun yang itu-itu saja. Merah. Kadang merahnya malah muram-pucat-pasi bagai wajah pengindap leukemia. Itu terutama jika Chik Piah rada kikir menabur gincu alias tepung pewarna. Jika Chik justru sedang adrenalin pada kemeriahan, warna merahnya malah bisa berlebih-lebihan. Menyala-nyala.

Namun sekental atau semuram apa pun merahnya, kemasannya tetap begitu-begitu saja. Hanya diisi dalam kedapan yang dikenyalkan dengan bantuan kepenuhan udara kantong plastik bening polos tanpa tulisan apa pun atau suatu gambar hiasan terntentu semisal foto kartun Donald Bebek atau tokoh utama dalam suatu film animasi kesukaan anak-anak.

Makanya saka maneeh atau cintra manih alias kembang gula made in Chik Piah kini bagai orang gagap. Dulu memang betul keberadaan cintra manih Chik penuh percaya diri, walaupun dengan kemasan yang sederhana, namun ia tiada duanya. Ke mana Chik pergi, ke situ langkah anak-anak berlari, mengacungkan koin, saling mendahului antar sesama sembari berseru, “Chik Piah, Chik Piah! Neubri cintra manih saboh…!

Sekarang setelah banyak penjual dari luar daerah datang dengan menjaja kembang gula yang diracik dengan berbagai warna dan dibalut dalam kemasan kantong plastik beragam gambar, cintra maneeh racikan Chik Piah termangu-mangu. Bagai produk terlunta-lunta yang dibawa-bawa di belakang sepeda ontelnya yang tua.

Lihatlah faktanya, Chik Piah, walau bagaimana tetap menjajakan bikinannya, tiap hari, tiap pagi, ke mana-mana, terutama ke halaman-halaman sekolah SD. Tapi para pelajar cilik yang berhamburan ke luar lokal setelah lonceng istirahat berbunyi, acuh tak acuh menatap gelantungan saka maneeh di belakang sepeda tua Chik Piah.

Acuk tak acuh. Ya. Dan itu lantaran kemasannya kurang mentereng. Padahal isinya sama saja. Sama-sama manis. Sama-sama bikin lidah merah menyala. Intinya, Chik Piah kurang lihai dalam menghias kantung kemasan. Padahal zaman telah berubah, selera pasar telah berganti.

Nah, terkait dengan Pemilukada Aceh ke depan ini juga begitu. Yang kurang lihai dalam sistem kemasan, bergaining poitiknya akan ditanggapi acuh tak acuh oleh calon pemilih. Itu lantaran sejak SD publik Aceh sudah terbiasa membeli cintra manih berdasarkan kemeriahan kemasan. Sedangkan cintra manih bikinan Chik Piah kurang laku lantaran di kantung plastik balutannya tak ada gambar Donald Bebek.■

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.