Semua daerah di negara mayoritas muslim punya cara tersendiri menyambut bulan suci Ramadhan. Namun di Aceh, khusus tahun 2011 Masehi atau 1432 Hijriah, menjamu bulan suci itu dengan nuansa berbeda. “Sepertinya sebagian kecil masyarakat Aceh menerima bulan mulia itu dengan melihat aurat lawan jenis!” kata Iis sendiri.
Dalam kurun 23-26 Juli 2011, Festival Kesenian Rakyat Dunia digelar di Banda Aceh. Ratusan penari dari 10 negara: Polandia, Italia, Turki, Kanada, Estonia, Pakistan, Lithuania, Srilanka, Afrika Selatan, dan Malaysia memeriahkan acara ini. Aceh sebagai tuan rumah mewakili Indonesia, melengkapi sebelas peserta pada Aceh Internasional Folklore Festival tersebut.
Melihat antusias warga Banda Aceh menikmati tarian khas negara peserta saat parade di tengah jalan Kota Banda Aceh pada Sabtu (23/7) sore, “seakan-akan masyarakat sangat menyenangi liukan tubuh orang yang secara lahiriah beragama nonmuslim itu. Patut diduga, penonton ingin sekali ‘melihat aurat’ penari asing yang tampil modis dengan pakaian tari negaranya. Bahkan, ada sebagian yang sengaja berpose bareng dengan bule-bule itu,” katanya lagi, depan cermin, bak seorang dai. “Atau jangan-jangan, melihat aurat sesama orang Aceh. Di kota kan banyak putri-putri berpakaian ketat, apalagi di keramaian,” duga Ari.
Sore itu, berduyun-duyun orang tumpah ruah ke tubuh jalan ibukota berlabel ‘Bandar Wisata Islami’. Parade dengan berjalan kaki mulai dari Jalan T M Daud Beureueh sampai Taman Ratu Safiatuddin itu membuat jalan macet hampir sejam lebih, sehingga menghambat pengguna jalan. Kemacetan itu membuat tamu asing sepertinya berpikir bahwa, parade suatu festival di Banda Aceh caranya sangat tidak bagus, gara-gara mereka orang-orang tak bisa lewat.
Dalam keadaan demikian, sebagian orang pasti mengambil kesempatan untuk menyimak bentuk tubuh penari asing, terutama yang berkulit putih, sehingga sedikitnya pasti menimbulkan syahwat. Karena, hal itu bukan dalam film, tapi nyata, melihat langsung dengan mata kepala. Dan, ketika penari asing tampil di panggung-panggung kemudian hari, warga pasti akan berdatangan lagi untuk melihatnya.
Acara itu memang sangat bagus untuk saling memperkenalkan budaya negara peserta masing-masing. Lebih-lebih Banda Aceh. Di satu sisi, momennya tepat bila dikaitkan dengan tahun kunjungan wisata. Namun sangat tidak tepat jika dihubungkan dengan peyambutan bulan suci Ramadhan.
Seharusnya, setelah malam nisfu sya’ban—malam ditutup buku amalan tahun sebelumnya dan dibuka lembaran baru, umat islam mengisi buku barunya dengan amal baik, “sebaik perlakuan orangtua yang membelikan buku baru bagi anak-anaknya yang sekolah memasuki smester baru,” katanya lagi.
Seperti yang dilakukan Palembang misalnya. Ratusan warga di kota Palembang melakukan ziarah Kubra ke makam-makam ulama dalam menyambut bulan suci Ramadhan (detiknews.com 24/7/11).
Memang pada Minggu (25/7/11) malam, di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ada dzikir dan doa bersama yang dihadiri Menteri Agama RI, Suryadarma Ali. Tapi pada saat bersamaan, penari asing sedang menunjukkan kebolehannya dalam mengolah gerakan tubuh di Taman Sari dan Taman Ratu Safiatuddin. Sehingga, patut diperkirakan, warga memilih melihat lekuk tubuh penari asing atau sesama penonton ketimbang dzikir bersama. Sebab, kesempatan melihat penari asing hanya beberapa jam saja dalam tiga hari itu. Kalau dzikir, sepertinya sudah ‘mulai bosan’ dilafal dan didengar.
“Namun tak bisa juga menyalahkan acara itu digelar di Banda Aceh,” kata Iis dengan aksen suara berbeda, seolah-olah oranglain yang mengatakan. Itu sebuah hiburan—yang datangnya tak tepat waktu—bagi penduduk Serambi Mekkah. Malah bagus untuk promosikan Aceh walau terkesan tuan rumah kurang persiapan. Hanya saja, waktu tak tepat.
“Lagian, tak ada manfaat besar acara itu bagi masyarakat Aceh. Aceh Internasional Folklore Festival bukanlah kompetisi, tapi eksebisi. Hanya ajang memperkenalkan budaya masing-masing negara saja,” katanya. Karena kesannya demikian, “acara itu bagusnya dinamakan kesenian aurat dunia,” kata Iis. “Sekian. Assalamualaikum.”[]